50 | Kamu Harus Bahagia Setelah Ini

902 118 26
                                    

Suasana hening dan tegang menyelimuti ruang sidang siang ini. Semua mata tertuju pada Kaiya yang duduk di tengah ruangan, termasuk Aiden yang menatapnya penuh kekhawatiran.

Dengan rekomendasi dari Aika, Kaiya akhirnya berhasil menjadi saksi di persidangan melawan Nabila dan Agil kali ini, meski Aiden terus-terusan menolak ide tersebut.

Kaiya menatap lurus pada deretan majelis hakim di depannya. Kedua tangannya saling berkait, menunjukkan kalau dia juga sebenarnya gugup, tapi berusaha untuk tetap tenang dalam memberikan kesaksian yang dia harap bisa membuat para majelis hakim segera mengambil keputusan atas kasus yang tidak selesai-selesai ini.

"Pak Hakim yang terhormat, saya sebagai istri sah Mas Aiden merasa yang paling dirugikan dalam kasus yang tak kunjung selesai ini. Saya merasa persidangan ini terlalu bertele-tele sehingga saya sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana pada suami saya.

"Saya percaya pada suami saya, tapi kasus yang tidak selesai-selesai ini membuat keraguan muncul dalam diri saya. Oleh karena itu, saya berharap kasus ini bisa segera diselesaikan apapun hasilnya.

"Selain itu, saya juga ingin meminta kejelasan pada saudari Nabila dan pacarnya, apa sebenarnya yang mereka inginkan dari suami saya. Kalau memang anak yang dikandung saudari Nabila adalah anak suami saya, dan mereka ingin Mas Aiden bertanggung jawab, saya tidak akan menghalangi—"

"Aya!" Aiden spontan berseru protes pada statement istrinya yang menurutnya sangat mengada-ada. Terlebih, Kaiya tidak pernah mendiskusikan hal ini sebelumnya. "Kamu bilang apa, sih?!"

"Pak Aiden, mohon tenang. Anda belum diberi kesempatan untuk berbicara," tegas sang ketua hakim.

Kaiya menoleh pada suaminya dan menyuruhnya untuk tenang. "Saya lanjutkan, Pak Hakim."

Ketua hakim pun mengangguk mempersilakan. "Silakan, Bu Kaiya."

"Saya tidak akan menghalangi jika Mas Aiden diminta bertanggung jawab atas anak yang dikandung saudari Nabila, tapi dengan beberapa syarat."

Kaiya agak menoleh pada Nabila yang berada di deret kursi penasihat hukum, lalu kembali menaruh atensi pada para majelis hakim. "Pertama, tolong segera lakukan tes DNA untuk membuktikan kalau anak itu benar-benar anak Mas Aiden.

"Yang kedua, jika anak itu tidak terbukti bukan anak Mas Aiden, saya minta saudari Nabila dan pacarnya melakukan apa yang menjadi tuntutan kami sejak awal. Tuduhan saudari Nabila dan pacarnya sudah membuat kehidupan dan pekerjaan kami berdua sangat berantakan. Oleh karena itu, saya dan Mas Aiden ingin saudari Nabila dan pacarnya mengakui pada publik kalau selama ini yang dituduhkan pada Mas Aiden tidaklah benar.

"Yang ketiga, jika anak itu benar-benar anak Mas Aiden, saya mau anak itu dirawat dan diadopsi oleh saya dan Mas Aiden—"

"Eh, apa-apaan lo! Enak aja mau bawa-bawa anak gue—" Nabila berteriak histeris mendengar permintaan Kaiya.

"Ibu Nabila, silakan duduk. Anda belum dipersilakan untuk bicara."

"Tapi, Pak Hakim, ini anak saya. Kenapa harus dia yang merawat anak saya?!" jawab Nabila sambil mengelus perut buncitnya.

Kaiya menatap Nabila dengan seringai sinis di bibirnya. "Kalau itu anak Mas Aiden, Mas Aiden berhak merawat anak itu juga, kan?"

"Tapi, bukan berarti lo bisa ambil anak gue seenak jidat lo!"

"Bu Nabila, kalau Anda tidak bisa tenang, Anda bisa keluar dari ruang sidang ini." Ketua hakim kembali memperingatkan Nabila. Beliau lalu kembali pada Kaiya. "Silakan, Bu Kaiya dilanjutkan."

"Baik, Pak Hakim yang terhormat. Persidangan ini sudah terlalu lama dan panjang, padahal tuntutan yang diminta suami saya cuma sepele. Hanya permintaan maaf dari saudari Nabila dan pacarnya. Tapi, persidangan ini justru seakan memberikan wadah bagi saudari Nabila untuk membongkar semua aib masa lalu suami saya dan menuduh suami saya untuk sesuatu yang tidak dia lakukan.

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang