03 | The Thought of Kaiya Senja

2K 272 58
                                    

Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela begitu tirai disibak oleh si empu kamar yang baru saja selesai mandi. Wanita itu menilik keadaan di luar kamarnya yang menampakkan langit biru berhiaskan gumpalan awan putih di sana-sini, serta burung-burung berterbangan sembari mengeluarkan kicau yang indah dan menenangkan pikiran.

Sang pemilik kamar beranjak ke meja rias yang berada di samping jendela, lalu meraih ponselnya yang juga berada di sana. Sembari melepas handuk yang menutupi rambut basahnya, dia memutar lagu dari ponsel untuk menemaninya bersiap-siap. Seperti biasa, lagu-lagu dari GAKT selalu menjadi pembuka hari sebelum dia berkegiatan selama seharian penuh.

Kaiya mengeringkan rambutnya sambil ikut bernyanyi dan bergoyang sesuai irama lagu dari GAKT. Sesekali, dia menggunakan hair dryer di tangannya sebagai mikrofon, berlagak seperti penyanyi sungguhan.

Ketika tiba di bagian harmonisasi high note Gamma dan Kavin, Kaiya geleng-geleng kepala. "Kok, bisa suara Gamma masih sestabil ini, padahal dia sambil nge-drum," monolog Kaiya, mengekspresikan kekagumannya.

Merasa rambutnya sudah tidak terlalu basah, Kaiya beralih ke rutinitas skincare-nya. Dia tidak akan langsung berdandan saat ini sebab dia baru akan pergi sekitar pukul sepuluh nanti.

Saat sedang khidmat-khidmat-nya menikmati lagu dari band idolanya itu sambil mengaplikasikan serum di wajahnya, musik di ponselnya berhenti dan berganti dering panggilan masuk. Kaiya menggeram kesal karena telepon itu masuk tepat saat suara Aiden yang terdengar.

"Siapa, sih, telepon pagi-pagiii?" Kaiya meletakkan botol serumnya, lalu beralih pada ponsel yang tergeletak di pinggir meja. Alis Kaiya refleks menukik ketika nama Airlangga muncul di layar. "Ngapain dia nelpon jam segini?"

Gadis itu menerima panggilan tersebut dan langsung mengaktifkan mode loudspeaker karena dia masih akan melanjutkan rutinitas skincare-nya. "Halo?"

"Halo, Ya, ganggu nggak?"

"Enngg ... enggak sih, Chef."

Airlangga terkekeh pelan. "Ganggu sih kayaknya."

"Eh, beneran enggak, Chef," balas Kaiya sedikit panik, takut Airlangga salah sangka.

Suara tawa Airlangga yang berat terdengar dari seberang sana. "Gimana kabarmu, Ya?"

"Yaaa, gini-gini aja, Chef."

"Lagi sibuk?"

"Pagi-pagi gini, paling sibuk ngumpulin nyawa aja, Chef," canda Kaiya. "Chef sendiri gimana kabarnya?"

"Lagi gabut ini di bandara. Makanya, ngide aja mau gangguin kamu."

Kaiya meringis lebar. Tak cukup mengerti apa tujuan Airlangga mengganggunya. "Emangnya Chef mau ke mana?"

"Mau pulang ke Jakarta. Ini lagi di Makassar. Terus nanti siang mau ada tapping jadi bintang tamu talk show."

Kaiya ber-oh panjang sambil manggut-manggut. "Sibuk ya, Chef."

"Haha, lumayan. By the way, kamu hari ini ke resto jam berapa, Ya?"

"Hari ini saya nggak ke resto, Chef."

"Oh, kenapa?"

"Hari ini saya mau anterin Bunda belanja soalnya."

Terdengar suara Airlangga bergumam panjang di seberang. "Belanjanya seharian?"

"Haha, ya enggak sih. Tapi, nanggung aja kalau ke resto cuma sebentar."

"Hhmm, bener juga."

Kaiya mengangguk, walau Airlangga tidak dapat melihatnya. Dia kemudian berlanjut mengaplikasikan pelembab dalam diam, bingung mau bicara apa lagi.

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang