Terlihat seorang wanita sedang mengadakan sebuah pesta kecil-kecilan di dalam kamarnya. ia meneguk segelas alkohol lalu berjalan sempoyongan ke arah tempat tidur dan menjatuhkan dirinya di atas sana.
"Dia cuma milikku," racaunya dengan jari yang menunjuk ke arah sebuah bingkai yang terpajang rapi di dinding kamarnya.
Jari telunjuknya bergerak secara perlahan ke kanan dan ke kiri. "Gadis itu tidak pantas bersamanya," lirihnya dengan bibir yang melengkung ke bawah.
"Ahahaha tapi ... wushh, dia---" Perlahan ia menutup kedua matanya. "Mati," bisiknya pelan lalu matanya kembali terbuka lebar, ia dengan cepat berdiri dan berjalan sempoyongan ke arah lemari dan membuka sebuah laci.
Tangannya terulur mengambil sebuah botol kecil yang ada di laci itu. Kemudian ia memegang botol itu dengan jari telunjuk dan jempolnya dan mengarahkannya tepat di depan wajahnya.
"Racun, oh, racun," senandungnya seraya berputar-putar dengan girang. Tiba-tiba langkahnya terhenti kala ia menabrak tubuh seseorang.
"Sayang," gumamnya dan menatap sosok pria yang ada di hadapannya itu dengan penuh damba, lalu dengan sigap ia menyembunyikan botol yang ia pegang ke belakang punggungnya.
Tanpa banyak bicara sosok yang ditabrak oleh wanita itu dengan gesit merampas botol yang di sembunyikan, lalu memperhatikan botol tersebut dengan seksama.
"Racun," beonya. "Apa yang udah lo lakukan?" tanya pria itu dengan amarah, bahkan kedua tangannya kini mencengkram erat bahu orang yang berada di depannya dengan kencang.
"Sakit, Di," ringis wanita itu kala merasakan sakit di kedua bahunya.
"jawab!"
"Gue tabrak, terus gue racunin dia," jawabnya santai.
"Bangsat!" umpat pria itu dan dengan cepat berbalik dan hendak menuju ke arah luar. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar ucapan dari seseorang yang berada di belakangnya.
"Dia udah mati, percuma. Siapin aja pemakamannya sebagai bentuk rasa cinta."
***
Sedangkan di depan ruang operasi, keluarga yang biasanya selalu tertawa kini terlihat seperti kehilangan cahaya. Sosok Papa yang biasanya ceria, kini sedang berdiri tepat di depan pintu seraya meletakkan telapak tangannya di sana. Ia menatap ke arah dalam dengan mata yang berkaca-kaca. "Putri papa kuat, 'kan? Putri papa enggak akan ninggalin papa, kan?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
"Putri papa harus sembuh, papa kesepian kalau enggak ada Lev," lirihnya dengan sendu.
Sosok Mama yang selalu bersikap tegas sekarang tengah tertunduk lemas di atas kursi, terlihat pundak wanita itu bergetar karena menangis.
Begitupula dengan sosok Abang yang biasanya penuh semangat kini terduduk di lantai dengan pandangan kosong.
Sedangkan di dalam ruang operasi, dokter dan suster bekerja tanpa henti. Suara monitor berdenting, menciptakan atmosfer tegang. Setiap detik terasa seperti perjuangan melawan waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Levitra
Teen FictionIni adalah cerita tentang keluarga birawa dengan versi yang berbeda dan juga alur cerita yang berbeda. tapi tokohnya tetap sama. *** Memiliki sosok Levitra di dalam sebuah keluarga memang sangat memusingkan. Ada saja tingkah yang dilakukan oleh gadi...