1227 Kata
°•°•°
Terbiasa, sudah sangat terbiasa. Sampai Jimin merasa mati rasa. Tidak mempermasalahkan apapun tindakan, sikap, ucapan, yang keluar dari Ayahnya. Bentuk keputusan apapun, tidak Jimin beri penolakan meski hatinya menentang. Ia merasa tidak berhak dan suaranya tidak bernilai. Lemah tanpa makna, jadi ia memilih diam saja. Situasi yang membuatnya merasa aman.
Tapi Taehyung tidak begitu. Ia tidak merasakan ketidakberdayaan yang Jimin rasakan. Ia berani sebab berpikir memang tindakannya benar. Meskipun berhadapan dengan Ayahnya, meskipun yang bicara adalah Ayahnya, jika salah, Taehyung punya hak untuk berpendapat. Kali ini Ayahnya kembali memberikan keputusan yang miring-semiring miringnya. Taehyung tidak pernah mau pergi bersenang-senang dengan Ayah tanpa Jimin, tapi situasi terus saja membuat pendapat Ayah menang. Lebih realistik untuk diterima akal sehat.
Tempo hari, perkara Jimin yang masuk rumah sakit sebab demam tinggi. Kini persoalan tangan Jimin yang terluka membuat Ayah enggan mengajak putra bungsunya untuk ikut menikmati makan malam diluar. Tentu saja Taehyung kesal. Bentuk alasan Ayah ditolak mentah mentah pikirannya. Ia merasa sikap Ayah salah.
"Tangan Jimin yang terluka, Yah. Kakinya masih bisa berjalan. Dia masih bisa bicara dengan normal dan tidak merepotkan. Kenapa Ayah tidak mau mengajaknya." Selama lebih dari lima menit mereka berdebat. Taehyung memilih tidak ikut kalau Ayahnya masih menahan Jimin dirumah, "Tanpa Jimin, aku tidak mau kemanapun dengan Ayah."
Rasanya sangat tidak adil. Taehyung selalu menemukan tatapan Jimin yang terluka saat pulang. Meskipun Taehyung berusaha menyenangkan saudaranya lewat makanan atau barang yang ia bawa, tetap saja tidak mampu mengubah raut sendu yang Jimin tunjukkan.
"Lain kali saja, lain kali kita ajak Jimin. Sekarang Taehyung saja dulu. Masalahnya Ibu sudah menunggu disana. Reservasinya hanya cukup buat tiga orang." Ini bentuk alasan Ayah yang lainnya.
Menyeret Ibu, tidak membuat Taehyung goyah, "Kalau begitu Ayah saja dengan Ibu. Rasa makanannya akan tetap sama meskipun aku tidak ikut." Mulut Ayahnya masih ingin bicara, tetapi Taehyung memutus konversasi yang ada. Ia melangkahkan kaki menaiki tangga menuju kamar saudaranya. Memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Jimin-ah." Taehyung tidak menemukan presensi yang ingin ia temui. Kamarnya kosong. Tapi Jimin bukan pribadi yang senang menghabiskan waktu diluar, apalagi kalau sendirian. Lantas kemana saudaranya pergi.
"Jimin-ah." Di kamar mandi pun tidak ada, "Jimin." Di langkan juga, tidak ada. Dan dengan konyolnya Taehyung menengok kebawah, takut Jimin termakan pikiran gilanya dan melompat dari langkan kamar. Tapi tidak ada. Agak mencelos lega hatinya, hal buruk seperti itu tidak terjadi. Tapi kemana Jimin. Tidak biasanya kamarnya kosong, "Jimin-ah. Kau dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Jeda
Fanfiction[Tanpa Jeda] Tahu tidak? Jimin rindu, sangat rindu sampai jiwanya lepas entah kemana. Bukankah Taehyung harus bertanggungjawab? Karenanya Jimin benar-benar akan sekarat. [20240201] Minminki