Kehadirannya

103 23 11
                                    

774 Kata

°•°•°

Tangan Jimin tidak berhenti menekan perutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tangan Jimin tidak berhenti menekan perutnya. Rasa sakit yang hebat kembali menyerangnya sampai tidak sanggup berdiri diatas kakinya sendiri.

Diantar Dokter Hee-Soo, Jimin kembali memeriksakan dirinya ke rumah sakit. Belum bukan berarti tidak membahayakan. Jimin dapat banyak nasihat dari Dokter yang menanganinya. Telinga Jimin mendengarkan dengan baik. Ia tidak membantah kalau yang Dokter katakan adalah sebuah fakta. Memang banyak hal yang Jimin abaikan. Tapi bukan karena Jimin tidak sayang diri, semua terjadi begitu saja. Untuk sekedar makan dan tidur tidak lagi menarik dimatanya.

"Dengar Jim. Kesempatan hidup itu sekali, kalau kau mati. Sampai menangis darah pun tidak akan bisa hidup kembali." Sepanjang koridor Dokter Hee-Soo merangkul Jimin. Memapah langkahnya agar tidak jatuh, "Memangnya kau tidak sayang dengan masa muda mu. Banyak hal menarik yang belum kau nikmati."

Jimin hanya melirik sekilas pada Dokter Hee-Soo. Ia tidak berminat menanggapi penuturan orang disampingnya. Lebih memilih meresapi rasa sakit yang mencuat tiap kakinya melangkah.

"Apalagi mati muda itu bukan cita-cita. Kau harus menjaga kesehatan supaya terhindar dari hal itu."

Tapi tiba-tiba Jimin ingin bicara, "Bagaimana kalau memang sudah ajalnya?"

"Setidaknya kau tidak menantang maut." Celetukan Jimin refleks membuat Dokter Hee-Soo mendaratkan jitakan tangannya diatas kepala Jimin, "Sakit itu diobati. Apa yang dilarang harus dihindari. Menjaga diri itu penting, menghindari bahaya itu harus. Jika kau melakukannya, berarti kau menghargai dirimu sendiri."

"Sakit." Double kill sekali. Sudah sakit diperut, sekarang kepala Jimin ikut berdenyut.

"Makanya, kalau bicara jangan sembarangan. Kematian bukan mainan." Berdecih, tidak lupa mata Dokter Hee-Soo ikut mendelik pada Jimin.

Didalam hidupnya yang sudah menginjak umur mendekati kepala tiga. Dokter Hee-Soo sudah pernah melihat kematian dari orang yang ia sayang. Kehilangan merupakan luka hati yang menyakitkan, dan kerinduan tanpa obat lebih parah dari penyakit ganas.

Mereka sampai dibagian pengambilan obat. Dokter Hee-Soo membawa Jimin untuk duduk di kursi tunggu, "Diam disini. Jangan kemana-mana." Sementara dirinya pergi untuk menebus resep yang Dokter sebelumnya berikan.

Tidak begitu ramai. Hanya ada segelintir manusia yang datang dengan kepentingan masing-masing, lalu pergi setelah mendapatkan yang mereka butuhkan.

Di kursi tunggu yang berjajar cukup banyak pun tidak  terisi semua. Beberapa kursi kosong, di kanan kiri Jimin juga kosong. Jimin bersandar sambil menekan sisi kiri perutnya sesekali. Rasa tidak nyaman bersarang disana. Jimin merasa ingin mencopot lambungnya sejenak, supaya bisa duduk dengan tenang tanpa merasa kesakitan. Sayangnya, mustahil dilakukan secara instan.

"Ternyata tidak ramai. Tahu begini, aku datang sedari tadi." Kursi disamping Jimin terisi. Spontan Jimin melirikkan matanya. Mendapati wajah yang tidak asing tersenyum padanya, "Kita bertemu lagi, Haksaeng."

Jimin langsung menggeser duduknya. Saking terkejut. Membuat jarak lebih panjang supaya tidak terlalu dekat. Dan mungkin tindakan Jimin menyinggung lawan bicaranya. Sebab Paman itu tampak kecewa, "Aku tidak punya penyakit menular."

"Ash!" Jimin tidak sengaja menekuk perutnya. Pergerakannya terlalu cepat barusan, membuat sakitnya yang sempat menghilang perlahan malah kembali datang.

Kepanikan muncul dimata paman itu, "Hey, kenapa? Perutmu sakit?" Tangannya berusaha menggapai Jimin.

Menyadari itu, Jimin langsung menepisnya sebelum tangan orang asing itu berhasil menyentuhnya, "Tidak. Aku tidak apa-apa."

"Tapi kau terlihat kesakitan. Sini, biar Paman bantu." Tangannya masih berusaha mendekati Jimin. Dengan maksud membantu.

Sayangnya Jimin merasa tidak membutuhkannya, "Tidak perlu."

Lebih memilih berusaha berdiri sendiri dengan bertumpu pada kursi didekatnya. Tapi Paman asing itu keras kepala, atau mungkin tingkat kepeduliannya terhadap sesama terlalu tinggi. Sampai tidak betah berdiam diri saat melihat orang disekitarnya kesulitan.

Jimin yang merasa risih dibuat kesal. Selain berperang dengan rasa sakitnya, ia harus meladeni orang tidak jelas yang berusaha merangkulnya, "Aku bilang tidak perlu!" Hingga Jimin tidak lagi mampu menahan keras suaranya.

Disaat bersamaan, Jimin merasa ada yang memegang tangannya. Kemudian bahunya dibebani dengan sebuah tangan, "Jimin-ah, Kau tidak apa-apa?" Suara Taehyung kedengaran lebih menenangkan, daripada suara orang asing dihadapan Jimin, "Ada apa ini? Apa yang kau lakukan pada Adikku?"

Didetik berikutnya berubah selaras dengan tatapannya yang tajam. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai rumah sakit Taehyung dibuat was-was. Sekarang malah disuguhkan keadaan yang membuatnya marah.

"Tae." Jimin bersumpah perutnya sakit luar biasa. Tapi harus menahan Taehyung yang hendak maju membuat keributan, "Perutku sakit. Serius."

"Dimana? Bagian mana yang sakit?" Atensi Taehyung tidak lagi menantang Paman dihadapannya. Beralih pada Jimin yang ada dalam rangkulannya.

"Semuanya. Ayo ke mobil Kak Hee-Soo saja." Kebisingan kekecil apapun rasanya memeras perut Jimin tidak kira-kira. Membuat otot-otot disekitarnya tegang dan keram.

Tidak mementingkan perdebatan, Taehyung menuntun Jimin kearah parkiran. Setelah Taehyung sempat memberi isyarat pada Dokter Hee-Soo yang masih berurusan dengan apoteker rumah sakit. Meninggalkan presensi asing yang masih berdiri ditempatnya. Memperhatikan Taehyung dan Jimin sampai tidak lagi tertangkap jangkau pandangnya.

'Jimin.' Paman itu tersenyum. Mengangkat bahu sambil menganggukan kepalanya, "Nama yang bagus."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






°•°•°

Written by
Minminki.

Tanpa JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang