Ibunya

113 18 0
                                    

762 Kata

°•°•°

Mata Jimin terbuka sepuluh menit yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Jimin terbuka sepuluh menit yang lalu. Napas yang melewati hidungnya tidak sepanas tadi, hawa disekitarnya kembali pada suhu normal. Tidak ada rasa kedinginan seperti sebelumnya. Demam tingginya sudah menghilang. Kini punggung tangan yang tertancap jarum infus yang terbingkai pandang. Langit-langit putih polos juga bau obat-obatan. Jimin tidak ingat banyak selain, kepalanya yang terasa berputar hebat, badannya mengigil kuat lalu gelap. Tidak ada apapun yang dapat ia rasakan.

Tapi telinganya sempat mendengar, suara Bunda yang mengalun lembut menyebut namanya. Terasa jauh, dalam kabut yang memperpendek jarak pandang, Jimin tidak melihat apapun selain suara Bunda yang memanjakan telinganya. Memicu kerinduan yang menggila, sampai Jimin meneteskan air matanya. Lalu terbangun sebab sesak yang bersarang dalam sanubarinya.

Lengan kanannya berat, kebas kesemutan. Matanya melirik, mendapati Taehyung yang terpejam dengan menjadikan tangan Jimin sebagai bantalan. Suara napas yang kedengaran teratur. Hangatnya pipi Taehyung dapat Jimin rasakan diatas permukaan tangannya.

Saudara tirinya sempat mengatakan kalimat yang gila, didetik Jimin mendapatkan kesadarannya. Berbicara seolah kematian hanya satu satunya jalan keluar. Jimin pikir ucapan Taehyung benar, Bundanya juga melakukan cara yang sama,

'Malaikat Bunda, baik-baik dengan Ayah. Jangan nakal, Bunda sayang Jimin banyak-banyak.'

Jimin benci warna-warna post it. Sebab Bunda menuliskan pesan terakhirnya disana, diatas post it biru muda yang ditempel pada buku dongeng kesukaan Jimin. Kata 'Sayang' yang Bunda keluarkan adalah bentuk dari salam perpisahan. Yang selamanya membuat Jimin tidak suka ungkapan dari rasa cinta.

Taehyung selalu melakukannya. Setelah Bunda, kata yang penuh tumpahan afeksi dan rasa peduli, datangnya hanya dari Taehyung saja. Lalu satu jam yang lalu, Taehyung mengatakan soal kematian dengan begitu mudahnya. Jimin pikir, setiap kata manis yang keluar, berarti sebuah ucapan selamat tinggal. Mereka yang berkata manis, hanya berniat meninggalkan kesan sebelum meninggal. Yang pada akhirnya, membuat sekarat orang yang ditinggalkan dalam bayang-bayang ucapan indah yang mereka katakan.

"Kalau kau akhirnya akan meninggalkanku juga, Tae. Aku akan pergi lebih dulu sebelum dirimu." Akan Jimin pastikan, diantara mereka tidak perlu ada sesuatu yang harus dikenang. Jimin tidak bisa menambah rasa sakit yang sama disaat perasannya sudah tidak sanggup untuk menampungnya.

Tirai jendela melambai diterpa angin dari luarnya. Pandangan Jimin teralih dari Taehyung. Rasa tidak nyaman masih betah berdiam didalam perutnya. Jimin rasa ia akan muntah, tapi tidak ada tanda-tanda gejolak akan naik kebatang tenggorokannya. Hanya merasa mual samar-samar.

Sorot matanya berubah tidak suka. Cahaya matahari masuk lewat celah tirai yang melambai. Birunya langit mengintip sedikit. Pencahayaan didalam ruangan terlalu terang, cerahnya suasana melukai perasaan Jimin yang digulung-gulung mendung. Setiap hal yang terang, penuh warna, ceria dan tampak menggembirakan, selalu membuat Jimin merasa rendah luar biasa. Terejek sanubarinya, harga dirinya menghilang. Bayangan hitamnya semakin pekat saja. Ia tidak cocok berdiri dibawah terangnya suasana. Jimin hanya akan merasa jadi satu-satunya manusia yang tidak punya cahaya, suram dan tidak mampu bersinar.

"Tae." Kerongkongannya kering, suara serak yang keluar dari mulut Jimin. Mungkin Taehyung tidak dengar sebab terlalu kecil. Jimin mencoba sekali lagi membangunkan saudara tirinya, "Tae, Taehyung."

Bukannya Taehyung yang bangun, justru pintu ruang rawat yang terbuka. Jimin langsung memejamkan matanya. Hanya mengintip lewat pejamnya yang sedikit dibuka. Ibu tirinya yang datang, tampak membawa dua paperbag ditangan dan satu selimut tebal yang terlipat. Menaruh kunci mobilnya diatas meja, lalu melangkah mendekati Taehyung dan Jimin.

Iri, Taehyung selalu mendapatkan hal semanis Ibunya menyalurkan selimut dibahunya. Jimin tidak pernah merasa begitu. Ia selalu berakhir dengan suasana hati yang buruk tiap melihat interaksi antara Taehyung dengan Ibunya atau Taehyung dengan Ayah. Sesuatu yang bisa Taehyung dapatkan dengan mudah sementara begitu mustahil buat Jimin.

"Taehyung-ah, Taehyung." Ibu mengguncang pelan bahu Taehyung, "Mau pindah tidak tidurnya? Disofa saja supaya tidak sakit punggung."

Taehyung tidak langsung merespon, sebab masih larut dalam lelapnya. Sampai guncangan Ibu untuk kesekian kali pada bahunya, barulah Taehyung memberi jawaban dengan menggelengkan kepala, juga tangannya yang semakin erat menggenggam tangan Jimin. Memasukkan tiap jemari saudaranya kedalam sela-sela jemarinya.

"Yasudah kalau tidak mau."

Pejam Jimin langsung merapat, saat tangan Ibu tirinya bergerak menyentuh kepalanya. Memberikan usapan lembut layaknya seorang Ibu. Jimin dibuat gemetar. Ia merasa sudah mengkhianati Bundanya, menduakan wanita yang sudah melahirkannya dengan wanita lain yang sudah menghancurkan keluarganya.

"Cepat sembuh Jimin-ah. Ibu juga menyayangimu, sama seperti Taehyung." Afeksi dan kasih sayang yang terus Ibu usahakan terbagi rata. Tanpa menghiraukan perbedaan status Taehyung dan Jimin. Meski tidak mudah untuk memenangkan hati Jimin sepenuhnya. Tapi Ibu yakin, suatu saat Jimin akan menganggap seluruh kepeduliannya itu ada.

"HongJu-ya, Tolong bantu putramu. Bantu dia berdamai dengan luka yang sudah kau berikan." Dan bisa hidup normal layaknya remaja yang menikmati masa muda dengan senyum diwajahnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°•°•°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°•°•°

Written by
Minminki

Tanpa JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang