Kesabarannya

143 25 17
                                    

Tembus 1521 Kata

°•°•°

Lebih sulit fisika atau matematika? Bagi Jimin keduanya sama saja, sama sama sulit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lebih sulit fisika atau matematika? Bagi Jimin keduanya sama saja, sama sama sulit. Matematika bicara soal logika dan konsep, sedangkan fisika menyangkut istilah, konsep dan hukum-hukum yang Jimin tidak mengerti.

Bukannya malas, Jimin sudah berusaha dan terkadang ia jenuh juga sebab tidak menuai hasil apapun diakhir perjuangannya. Ia tetap bodoh dan tidak paham. Sebanyak apapun dijelaskan, mungkin pemahamannya hanya bertahan lima menit kemudian hilang begitu saja saat diminta mengerjakan satu soal saja.

Sudah habis tiga guru private menyerah mengajari Jimin sebab kesulitan paham yang Jimin alami. Tidak jarang yang malah jadi emosi. Seperti guru yang ada dihadapan Jimin sekarang. Menekan terlalu kuat ujung bolpoin pada buku Jimin saking kesalnya, sampai meninggalkan jejak yang terlihat. Darisana saja Jimin sudah paham kalau orang dewasa itu tidaklah sanggup menghadapi Jimin yang terus mempertanyakan pertanyaan yang sama sebab tidak paham.

Jimin tidak sanggup juga jadinya. Keberaniannya bertanya perlahan memudar, digantikan oleh rasa segan, "Dilanjut besok saja Bu."

"Tidak-tidak, kau nyaris bisa tadi. Ayo coba lagi, Jim. Namanya belajar tidak ada yang langsung bisa." Hanya penasaran, atau mungkin gregetan. Yang pasti Jimin tidak mendengar ketulusan, nada bicara berlawanan dengan kata yang dikeluarkan. Jimin tahu, kalau Guru Shin sudah sangat kesal, "Baca baik-baik rumusnya. Pahami, kalau bagian ini harus dikalikan dulu. Baru dibagi. Supaya dapat hasilnya, lalu nanti bisa dikali lagi dengan suku yang lain."

Jimin memperhatikan dengan seksama apa yang tengah Guru Shin terangkan. Lalu setelah selesai, guru itu memberikan satu soal. Jimin mengerjakannya sesuai dengan apa yang dilihatnya saat Guru Shin menjelaskan. Namun ditengah perjalanan, Jimin lupa harus bagaimana. Jadi ia mengangkat pandangannya, bermaksud ingin bertanya. Tapi malah disuguhkan raut frustasi, "Kalikan Jimin, astaga. Aku sudah memberitahumu berkali-kali. Masih tidak paham juga."

Jimin langsung menundukkan pandangannya kembali. Nada bicara Guru Shin memang tidak tinggi. Tapi otak Jimin justru menangkapnya sebagai bentakan marah. Jadi ia melanjutkan sebisanya, tanpa bertanya, dan tidak tahu jawabannya benar atau salah. Jimin hanya terus menulis.

Sampai akhirnya Jimin selesai dengan satu soalnya, yang ia berikan hasil kerjanya pada Guru Shin. Tidak ada komentar, tapi air wajah guru itu sudah menjelaskan segalanya, 'Pasti salah lagi.'

Gurunya yang pandai dan harusnya mengerti cara membuat muridnya mudah paham saja tampak tertekan apalagi Jimin yang tidak punya pemahaman, mengalami kesulitan untuk paham, tapi dipaksa harus paham, dan memang harus, agar tidak bodoh. Lebih tertekan daripada gurunya.

"Kau benar Jimin-ah. Kita lanjutkan besok saja. Kau perlu lebih banyak waktu dari dua jam cuma buat satu soal." Guru Shin mengembalikan buku ditangannya pada pemiliknya. Ia merapihkan buku-bukunya sendiri, memasukkannya kedalam tas. Bersiap-siap untuk pergi, mengakhiri kegiatan les privatnya, "Aku harap besok kau bisa lebih baik dari ini, Jimin."

Tanpa JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang