Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hanya laporan hasil sekolah Jimin yang tidak pernah ingin Ayah lihat. Mengecewakan katanya, menganggu pikiran dan cuma buat tambah pusing saja. Karena itu juga, Jimin tidak pernah melihat hasil dari belajarnya. Begitu wali kelasnya memberikan map yang berisi data nilai-nilainya, ia langsung menyimpannya didalam tas. Begitu pula setelah sampai rumah, Jimin hanya menyimpannya didalam laci lemari pakaiannya, dan tidak pernah Jimin buka-buka lagi kalau bukan memasukkan laporan selanjutnya.
Kekecewaan yang pernah Ayahnya tunjukkan, membuat Jimin punya ketakutan besar terhadap kemampuan belajarnya. Jimin tidak pernah mampu memuaskan siapapun bahkan gurunya sendiri. Mungkin kalau bukan karena memang tugasnya, guru Jimin pasti sudah malas mengajari Jimin yang sulit paham. Untungnya saja guru-guru di sekolah masih punya perasaan untuk tidak menyebut Jimin bodoh secara terang-terangan.
"Berarti sebulan lagi Ayah pulang?" Nyaring sekali suara Taehyung sampai kedengaran kedalam kamar Jimin, Atau orang itu memang ada dalam jarak yang berdekatan. Sebab tidak lama terdengar ketukan dari pintu kamarnya, "Jimin-ah, boleh aku masuk? Ayah menelpon, katanya ingin bicara denganmu."
'Bohong, kau yang menelpon Ayah. Bohong, kau memaksa Ayah supaya mau bicara denganku..."Pintunya tidak dikunci." Jimin tidak mau Ayahnya marah sebab dengar ia menolak keinginan Taehyung.
Sumringah wajah Taehyung saat memasuki kamar Jimin. Senyumnya secerah mentari, Jimin silau jadinya. Sangat tidak suka.
"Ini Jimin, Yah. Dia masuk sepuluh besar, Loh. Ayah tidak mau mengucapkan selamat buat Adikku." Taehyung mengarahkan kamera ponselnya pada Jimin, "Guru Choi juga bilang, hasil belajarnya meningkat daripada tahun kemarin. Ayah harus membawakan Jimin hadiah juga saat pulang nanti."
'Mengoceh.' apa Taehyung tidak lihat raut wajah Ayah yang tidak ramah. Atau hanya Jimin saja yang menyadarinya. Ia berhenti menaruh atensi pada Ayahnya, sebab kelihatan tidak suka padanya. Pandangannya jadi menunduk sebab takut. Sebagus apapun Taehyung menyanjungnya, tidak akan sepadan dengan pencapaian milik Taehyung. Ayah tetap menganggap Jimin tidak mampu mengimbangi Taehyung secuil pun. Sepuluh besar, apa artinya buat Ayah sementara Taehyung yang juara satu lebih mampu membanggakan.
"Belajar lebih giat lagi Jimin, nanti Ayah bawakan hadiah kalau sudah naik satu tingkat lagi."
"Ayah." Suara Taehyung kedengaran tidak terima setelah Ayah mengucapkan kata yang mengecewakan. Meski Jimin tidak menunjukkannya, Taehyung mengerti secara tersirat. Jimin pasti kecewa mendengarnya, "Jimin sudah berusaha, Yah. Sepuluh besar juga sudah bagus, pokoknya Ayah harus berikan Jimin reward yang besar."
"Iya, iya. Nanti Ayah bawakan hadiahnya. Sesuai pencapaian kalian." Ayah tidak mau berdebat, sebab masih ada dalam jam kerja, "Yasudah Taehyung, Ayah tutup teleponnya ya. Masih ada pekerjaan soalnya. Jaga dirimu baik-baik, jaga Ibumu. Sampai jumpa bulan depan, Ayah sayang kalian."
Masih ada yang janggal. Taehyung ingin membenarkan ucapan Ayahnya tapi keburu diputus sambungan ponselnya.
Asing, begitulah yang Jimin rasakan. Seperti tidak punya kedudukan sampai anti sekali Ayahnya menyebut namanya. Jimin jadi mempertanyakan statusnya. Harusnya masih setara dengan Taehyung, sama-sama anak Ayah. Tapi sejak dulu Jimin merasa berbeda. Ayah tidak seperti saat menanggapi Taehyung kalau menyangkut Jimin. Bingung sekali alasannya kenapa, dan Jimin tidak berani mengungkapkan kebingungannya. Hanya menelannya sendirian. Berpegangan pada kesimpulan tanpa kepastian.
"Jimin-ah, maafkan Ayah ya tadi. Aku yakin Ayah tidak berniat bicara begitu, mungkin Ayah lu—"
"Keluar Taehyung. Urusanmu sudah selesai." Siapa yang mau mendengarkan penjelasan konyol. Tidak perlu menghibur Jimin. Terlalu terang-terangan sikap Ayah, Jimin sudah paham.
Taehyung mencari-cari alasan, karena sudah ada didalam kamar Jimin, ia tidak mau keluar. Disore hari tanpa punya kegiatan, Taehyung ingin menghabiskan senja dengan Jimin.
"Uwah, Jimin-ah lihat. Ada burung yang lewat." Taehyung berdiri di langkan kamar Jimin. Menunjuk langit dimana segerombol burung terbang dengan latar Jingga. Benar-benar menakjubkan.
Sayangnya Jimin tidak tertarik. Ia mendekati Taehyung bukan untuk ikut bergabung memandang langit. Tapi guna menarik orang itu pergi.
Tidak gentar, Taehyung menahan tarikan Jimin pada tangannya, "Lihat-lihat, ada lagi." Sekarang malah Taehyung yang menarik Jimin. Berusaha membuat Jimin tertarik untuk melihat apa yang ia lihat.
Berdecak kesal, Jimin juga tidak mau kalah. Ia menarik Taehyung lagi, tapi konyolnya orang itu malah berpegangan pada pagar pembatas langkan, "Taehyung, keluar tidak."
"Sepertinya mereka sekeluarga. Banyak sekali saudaranya." Mengabaikan perkataan Jimin. sudah ditarik-tarik pun, Taehyung masih bertahan. Selagi tangannya belum terasa mau putus, Taehyung akan tetap berdiri dilangkan kamar Jimin.
"Taehyung!" Jimin berteriak sekencang-kencangnya didepan telinga Taehyung. Cara ampuh yang langsung membuat saudara tirinya itu melepas pegangannya pada besi pagar, "Keluar sialan!"
Diseret langsung oleh Jimin, secara tidak berperasaan. Tangan Taehyung sudah berusaha menggapai besi pagar lagi, tapi tidak sampai. Sudah terlalu jauh. Hingga akhirnya Taehyung berada diluar kamar Jimin. Saudaranya itu menutup pintu, atau lebih tepatnya membanting tepat dihadapan Taehyung. Lalu dikunci rapat-rapat.
Taehyung menghela napas panjang. Jimin tidak pernah berubah sejak dulu. Tetap sulit digapai, sampai Taehyung merasa sudah kehabisan cara.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.