Setelah semua yang dilalui dan kertas permintaan itu terpenuhi hingga satu saja permintaan yang tersisa.
Di dalam ruangan kelas yang hanya menyisahkan Enita dengan buku-bukunya itupun dihampiri oleh seorang anak laki-laki yang tidak lain tidak bukan adalah Devan.
"Loh? Nit, lu belum pulang?" tanya Devan.
"Gue ... masih merasa aneh, kenapa di dunia ini berasa hanya ada gue dan lu yang lainnya terasa asing bahkan Dendra sekalipun," ungkap Enita.
Devan menghampiri anak itu dengan raut wajah yang tersenyum lembut menatap perempuan yang kini ada di depannya.
"Emangnya kenapa?" tanya Devan seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Enita membuat anak itu menengok ke arahnya dan tanpa di sadar manamparnya.
Plak!
"Aduh! Sakit ...! Kenapa lu malah nabok gue lah, cok!" rintih Devan yang mengusap-usap pipinya yang merah akibat di tampar oleh Enita.
"Ya lu duluan! Gak sopan! Pake segala deketin muka lo ke gue!" cetus Enita dengan lirik mautnya.
"Alah bilang aja salah tingkah luh!" bantah Devan.
"Hah?!" Devan segera terdiam saat Enita menunjukan kepalan tangannya tepat di depan wajahnya.
"Haha, gue bercanda, kok! Sorry!"
Semilir angin memasuki celah jendela membuat rambut Enita yang sedang tidak dikuncir itu terbawa oleh arus angin. Devan yang melihatnya segera mengikatkan rambut tersebut dengan sesuatu kunciran yang sempat Enita inginkan waktu di taman.
"Gue gerah ngeliat rambut lu, kalau boleh gue potong tuh rambut!" celetuk Devan. Enita meliriknya dengan sesaat dan berkata,"Enak aja lo! Rambut itu mahkotanya seorang wanita!" balas Enita.
"Kalau tahu gitu kenapa lo gak pake hijab? Bukannya perempuan itu diwajibkan untuk menutupnya?" tanya Devan.
"Ee ... ituu ... udahlah gak penting! Gue mau omongin permintaan gue yang terakhir atau permintaan gue yang keseratus ini!"
Yaelah, bilang aja emang gak ada niatan, kan lo!, dalam hati Devan yang menggerutu.
"Kenapa?!" Dengan tatapan sinis Enita menatap lelaki yang ada di depannya itu.
"Haha, gak apa-apa! Yaudah lanjut!" ucap Devan.
"Permintaan gue yang terakhir adalah ...." Enita mendekatkan dirinya ke Devan dan tersenyum manis ke hadapannya. "Lo harus jadi pacar gue! Gimana?"
"P-pp ... pacar?"
Enita mengangguk yang berarti adalah mengiyakan pertanyaan Devan. Devan sempat terpaku beberapa menit, Devan yang mendengar itu sempat tak percaya akan perkataan Enita ini dirinya takut Enita hanya bercanda. Namun, disisi lain juga ....
"Gue ... gak bisa, Nit," tolak Devan.
"Gak bisa?! Tapi kenapa?! Bukannya lo juga suka sama gue?!" Enita terkejut akan apa yang akan dikatakan Devan padanya itu sangat-sangat tidak disangkanya selama ini.
"Nit, gue udah ngabulin semua permintaan lu itu meski ini semua ... hanyalah mimpi belaka, gue senang lihat lu bahagia, tersenyum seperti itu. Gue harap perginya gue gak membuat senyuman itu luntur, ya ...," ungkap Devan.
"T-tunggu maksud lo apa, Van?!"
"Waktu gue nemenin lu kayaknya berakhir di sini. Gue banyak-banyak terima kasih sama lu, Nit. Tolong setelah ini terima kenyataannya, terima semuanya, terima takdir tuhan ... lepas gue dengan hati ikhlas, biar gue gak ada di sisi lu lagi ... tapi, gue akan selalu ada di hati lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
VAGAMSYAH (HIATUS)
Teen FictionSingkat saja, kisah ini menceritakan tentang ikatan antara persahabatan, keluarga, ataupun perasaan. Kisah yang menceritakan kilas balik Dendra dan Devan sang kakak panutannya. #part akan direvisi setelah bab selesai. ♡30 September 2023♡