17 - APA SALAHKU?

160 114 152
                                    

Setelah kejadian kemarin mereka kembali seperti biasanya. Waktu cepat berlalu, pagi hari pun tiba kembali, mereka semua pun kembali memulai aktivitasnya menjadi seorang pelajar.

Saat itu hari begitu gelap awan yang terus-menerus mengeluarkan rintikan hujan membuat suasana menjadi malas untuk pergi ke sekolah, namun tetap saja mereka harus pergi. Di salah satu rumah tepat pada di kediaman Adhika, di mana keluarga itu adalah keluarga Enita dan juga adiknya Shienna.

Shienna dan kakaknya yang ingin pergi sekolah itupun sudah siap untuk berangkat namun, satu masalah terjadi pagi itu.

"Sayang, kamu bawa payungnya, ya, Ibu lihat dari perkiraan cuaca nanti sore akan turun hujan lagi, jadi kamu bawa, ya!" pinta sang ibu pada anaknya itu. Enita yang melihatnya itupun hanya dapat tertunduk, melihat kondisi payungnya yang sudah buruk juga, sedikit merasa iri pada adiknya.

"Tapi, Bu ... Kak Nita lebih butuh kayaknya, deh, daripada aku! Lagi pula payung Kakak juga udah rusak gitu, kalau baju sekolah Kakak basah, nanti Kak Nita sakit, Bu!" ucap Shienna yang melihat kondisi sang kakak.

"Kakakmu itu bisa berlari untuk cepat-cepat ke sekolahnya! Lagian juga hujannya juga belum begitu deras, kan!? Sudah payung itu kamu pakai aja!" ungkap sang ibu dengan tatapan tidak enak kearah Enita. Enita hanya dapat mendengarkan perkataan mereka seraya memakai sepatu sekolahnya.

"Tapi, Bu! Enna, kan naik mobil sama Ayah, Kak Nita jalan ka-" Sang ibu tiba-tiba memukul meja makan seraya meninggikan suaranya kepada Shienna. "SUDAH IBU BILANG, PAKAI SAJA! BIARKAN KAKAKMU ITU!"

Shienna tak dapat berkata apapun setelah ibunya membentaknya seperti itu. Rasa penyesalan melihat sang kakak pergi dengan payung rusak menyelimuti hati Shienna. Dirinya selalu merasa bersalah atas hidup kakaknya, mengapa hanya dirinya yang diperhatikan oleh keluarganya, bukankah mereka berdua sama saja, sama-sama anak yang dilahirkan dari hubungan orang tua itu?

Enita yang pergi dengan payung rusak itupun dilihat oleh Dendra yang juga pergi dengan payung. Hari ini dirinya tidak membawa motor karena kesulitan untuk membawa akan bahaya juga jika naik motor dalam kondisi hujan begini.

"Nita?"

Enita tak dapat melihat raut wajah apa yang Dendra berikan padanya, karena kejadian kemarin-kemarin juga mereka jadi seperti itu.

"Nit, tungggu!" panggil Dendra.

"Kenapa?" jawabnya.

"Lu pergi sama gue aja!" ajak Dendra.

"Gak perlu! Gue bisa sendiri!" tolak Enita dan melanjutkan jalannya. Tiba-tiba Dendra menghentikan langkahnya dengan memegang tangannya dan berkata, "Gue mohon, jangan tolak gue kayak gitu! Bagaimana pun juga gue perduli sama lu! Jan bersikap seolah lu gak perlu bantuan seseorang, Nit! Gue udah bilangkan kalau gue bakal selalu ada buat lu!" Kata-kata Dendra membuat Enita menangis di dalam guyuran hujan menambah suasana di sana.

Tiba-tiba Dendra mendekatkan dirinya dan memeluk erat tubuh Enita dari belakang. Tanpa disadar air mata terus-menerusnya mengalir tanpa henti di pipinya.

"Gue minta maaf, Nit! Gue minta maaf, udah bersikap kayak anak kecil, karena masalah hal sepele! Karena bagaimana pun juga gue gak akan bisa buat ngejauhin diri dari lo! Gue sayang sama lu, Nit!" ungkap Dendra.

"Gue capek, Den!" Enita terus menangis seraya mengucapkan bahwa dirinya lelah dengan sikap keluarganya.

"Emm ... gue tahu, gue tahu, Nit!"

*****

Mereka yang sampai di sekolah dengan waktu yang bersamaan membuat tanda tanya anak dengan hoodie berwarna hitam yang baru saja turun dari motor.

VAGAMSYAH (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang