Chapter 6 : Bunda terluka

98 5 2
                                    

Senandung lirih begitu kontras dengan peralatan dominan besi yang tercecer memenuhi meja praktik. Baut dan obeng sebagai teman sepaket tidak dapat dipisahkan, terbukti kedua benda itu tak pernah lepas dari siswa-siswi di laboratorium.

"Aku akan membuat Transformer."

Sudah dua jam pelajaran Haechan habiskan untuk bergelut dengan benda-benda tersebut berikut dengan kalimat yang sama. Namun benda yang dibuat tak juga menunjukkan bentuk yang jelas.

"Aku akan membuat Transformer~"

"Diam lah."

Haechan merenggut mendengarnya. Ji-Sung benar-benar tidak tahu keantusiasan nya. Dering ponsel yang mengalahkan toa milik aula sekolah mengejutkan keduanya.

Ji-Sung melotot terkejut yang dibalas kekehan tak berdosa dari pemiliknya.

"Halooowww dengan Most wanted SMKN 7 disini, siapa disana?"

"..."

Raut cerianya menghilang diganti raut horor. Dengan terbata-bata dia menyahut, "kecelakaan?"

"..."

"Oke kita kesana sekarang." Setelah mematikan ponselnya dia melepas jas praktik dengan tergesa. "Ayo kita pergi!"

"Hah, kemana? Aku belum selesai."

"Lupakan itu." Haechan menarik lengan Ji-Sung yang tengah memasang roda pada mobil kecil buatannya. "Jaemin kecelakaan!" imbuhnya.

"Hah?"

Mereka berlari melewati lorong sepi, jam pelajaran masih berlangsung tetapi Haechan tidak peduli. Begitu menemukan motor kesayangannya, langsung saja dia tunggangi. Meninggalkan Ji-Sung yang masih mencerna.

"Kita membolos?"

"IYA LAH!"

"Tapi aku masih pakai jas!"

"Siapa suruh tetap memakainya? Cepatlah!"

Haechan tanpa ragu meraungkan motornya diikuti Ji-Sung yang lepas stang untuk membuka kancing jasnya. Keduanya melesat melewati gerbang dengan satpam yang mencegat. Namun percuma, mereka tak menghiraukan sama sekali. Melewati sisi kanan dan kirinya seakan kehadiran satpam tersebut sebagai wasit di arena.

"Anak-anak nakal!"

|••••|

Derap langkah terseok-seok berusaha secepat mungkin tiba di lokasi. Didepan instalasi gawat darurat sudah ada beberapa anggota Nabastala, termasuk Haechan dan Ji-Sung. Mark mengintip dari ujung lorong untuk memastikan dia datang diwaktu yang tepat.

Idenya untuk mengintip ternyata membuahkan hasil. Karena teman-teman nya disana tengah dimarahi habis-habisan oleh wanita paruh baya yang bisa dia tebak, ibunya Jaemin.

"... kalau aja dia nurut apa kata bunda, dia nggak mungkin tiduran didalam sana. Bertaruh nyawa sendirian. Susaah banget dibilangin, jangan temenan sama orang yang bener! Masiiih aja nekat, temen yang baik saja belum tentu dapet kebaikannya lah ini apalagi. Bergaul sama anak berandalan."

Bisa Mark lihat dari jauh, tak ada yang berani mengangkat kepalanya, "coba bunda tanya, kalian tadi kesini izin nggak sama bapak ibu guru? Dapat surat izin nggak keluar sekolah di jam pembelajaran seperti ini?"

"Belum bunda," lirih Haechan mewakili teman-temannya.

Wanita dengan tunik merah jambu itu menggelengkan kepalanya, "Jaemin sebelum main sama kalian itu selalu pamit mau kemana-mana, selalu minta restu. Tapi kemarin, dia nggak izin bunda, pulang sekolah langsung pergi entah kemana. Dan lihat apa jadinya sekarang? Dia celaka. Dia nggak mau dengerin bunda lagi."

"Jaemin itu anak bunda satu-satunya, kalian tega ngambil Jaemin dari bunda, huh?" Mata yang mulai berkeriput itu memerah, tutur katanya masih lembut meski tengah menahan amarah. Dan hal itulah yang membuat mereka semakin merasa bersalah.

Mark yang menguping pun tak sampai hati untuk mendengar kan lebih banyak. Dia beranjak dari sana memilih menunggu di parkiran. Dia lemah tentang wanita, apalagi bunda Jaemin yang terlihat begitu terluka. Dia tak sanggup melihat wanita itu menangis, apalagi karenanya. Karena dia lah yang membuat Jaemin gelap mata semalam. Karena dia lah, Jaemin pulang sendirian membawa perasaan kecewa. Karena dia juga yang tak becus menjadi leader pengganti, Jaemin harus menjadi korbannya.

Korban.

Mark tersentak, dia merogoh ponselnya untuk menelpon seseorang, "cari tahu awal mula kecelakaan Jaemin."

|••••|

"Aku tidak menemukan rekaman CCTV, semua mati disaat yang bersamaan. Bahkan tidak ada saksi mata yang melintasi lokasi kejadian."

"Sengaja?"

Pemuda itu tersenyum simpul menampilkan dimple-nya, "aku ada teori teknologi."

"Apa?"

"Seseorang sengaja meng-hack jaringan satu distrik. Karena itulah jaringan padam semalaman dan baru kembali normal keesokannya. Bukankah dia baru saja ditemukan pagi ini?"

"Kau tahu dia ditemukan pagi ini?"

Lagi-lagi dia tersenyum simpul, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Membelakangi Mark yang tengah menatapnya dalam.

"Mungkin orang itu berharap keadaan memburuk dan mati ditempat saking jarangnya orang yang lewat jalan itu. Sayangnya dia masih hidup, kan?"

Mark menatap dalam punggung arogan itu, "pembunuhan berencana."

|••••|

"Kamu itu harapan bunda. Cuma kamu satu-satunya yang berharga di hidup bunda. Kenapa kamu jadi bandel begini? Apa bunda kurang kasih kamu didikan? Apa bunda ada salah dimasa lalu sampai sekarang dibales sama yang kuasa? Jaemin, anak bunda. Jangan sakit ya nak, biar bunda aja yang sakit. Kamu jangan, jagoan bunda nggak boleh sakit. Ya Tuhan, berikan rasa sakit putraku padaku, jangan kau berikan rasa sakit yang menyiksanya. Biar hamba yang menerima rasa sakitnya, ya Tuhan, berikan kesehatan dan kesempatan putraku Jaemin untuk kembali ke jalan mu."

Tangan rentannya mengusap betis kanan Jaemin yang terbalut perban. Air matanya menetes, tersedu-sedu. Ingatannya melayang saat dokter memvonis Jaemin bahwa ginjal kanannya harus diangkat. Dia sempat menangis dan menyuruh dokter untuk mengambil ginjalnya. Namun dokter berkata bahwa, "saudara Jaemin masih bisa bertahan hanya dengan satu ginjal, meski tidak akan sama seperti dulu. Saya menyarankan untuk mengurangi aktivitas berat yang biasa dilakukan."

Diam-diam Jaemin terisak tanpa suara. Tanpa sadar dia telah melukai wanita kesayangannya. Perlahan matanya mengerjap dan tentunya sosok pertama kali yang dilihat adalah ibunya. Beliau duduk terpengkur tak jauh dari ranjang pesakitan. Dengan bibir yang tak henti-hentinya meminta kepada illahi.

"Bunda," lirihnya. Dia tak menyangka satu kata yang keluar dari bibirnya terdengar begitu senggau dan menyedihkan.

Nabastala vs Benthala [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang