Chapter 8 : Sisa hujan semalam

90 5 4
                                    

Heeseung berjalan mondar-mandir didepan pintu perpustakaan. Dia tengah menunggu tanda tangan yang dibubuhi diatas materai atas persetujuan keberlangsungan acara karnaval, atas nama OSIS. Bukan karena guru killer yang membuatnya resah, bukan pula menunggu sesuatu yang tak pasti. Namun akibat kejadian semalam, anggota Nabastala memaksa masuk ke wilayah Berdikari. Berkoar-koar atas nama Benthala yang berulah dan dirinya harus turun tangan sebagai ketua OSIS teladan.

Dering ponsel yang berbunyi berkali-kali membuatnya semakin dilanda gundah. Apa yang harus dia lakukan untuk menghentikan Nabastala? Dia berdesis cemas, memutuskan untuk menjawab sang pemanggil.

"Lo dimana anjir?! Nabastala ngajak war di gerbang!! Buruan sini!! Bawa anak-anak OSIS."

Setelahnya telpon dimatikan. Bahkan dia belum sempat berbicara. Rungunya mampu mendengar suara bising dari seberang menandakan mereka benar-benar datang. Membawa amarah yang akan mereka lampiaskan. Persetan dengan surat yang harus dia dapatkan. Heeseung berlari menuju aula, meminta anak-anak disana memberi arahan untuk siswa-siswi agar berkumpul dan memastikan keamanan mereka. Setelahnya dia berlari lagi menuju ruang OSIS, mengambil peralatan tempur yang memang dia sembunyikan. Dia bersiap untuk berlari lagi tetapi seseorang mencegatnya. Membuatnya refleks menyembunyikan benda yang dibawa.

"Heeseung, gawat! Nabastala ngajak war di depan! Mereka udah masuk!"

"Aku tahu, arah kan para petarung di garda depan! Pastikan anggota OSIS non Benthala berada di aula. Selain itu, berjaga di seluruh gerbang!" perintahnya tergesa.

Jake mengganguk paham segera melaksanakan perintah. Mereka berlari bertolak-belakang dengan tergesa-gesa. Heeseung membawa langkahnya menuju gerbang sayap kanan. Dimana anggota Nabastala ditahan oleh pasukan petarung Benthala.

Heeseung dengan kepemimpinan nya sebagai ketua OSIS berteriak nyalang, "HENTIKAN!!"

Benthala yang mengetahui ketua OSIS mereka turun tangan hanya mampu membisu. Menyaksikan dari jauh sosoknya yang berjalan mendekat penuh karismatik. Menunjukkan kepemimpinan yang sudah dia pegang selama setengah tahun terakhir. Waktu yang singkat memang tapi jika dia mempu membuktikan, apa mau dikata?

Netra bulat innocent yang kerap kali dikagumi para gadis menyorot tajam bak elang bertemu mangsanya. Dia menyapu pandanganya, tanaman sekitar banyak yang tumbang berikut vas yang berserakan dan terpijak. Membuat tetesan darah mewarnai tanah disana. Tatapannya terhenti pada anggota OSIS yang bertugas sebagai keamanan telah babak belur. Menjaga keseimbangannya dengan bertumpu pada lutut dengan kepala terdongak sebab rambutnya ditarik kuat-kuat. Tanpa sadar rahangnya mengeras berusaha tetap bersikap tenang demi menjaga wibawa nya dengan menyimpan tangan disaku celana.

"Mundur."

Benthala saling membuang muka, menyeret anggotanya yang terluka untuk menjauh. Mau tak mau Heeseung berdiri ditengah-tengah. Menjaga anggotanya sekaligus berhadapan langsung dengan perwakilan Nabastala.

Seragam Pramuka tanpa ikat pinggang. Baju keluar dan dikancing seadanya. Heeseung berdecak dalam hati. Perbandingan yang cukup kentara dengannya yang berseragam rapi lengkap dengan hasduk. Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk menilai penampilan.

Pemuda alis camar yang berdiri di garda terdepan ini belum pernah dia temui sebelumnya.

Anggota baru?

"Bisa kita bicarakan dengan jelas? Hal apa yang membuat kalian membuat rusuh disini? Ini sekolah, bukan medang perang."

Dia menyunggingkan senyum mengejek, "aku tau, tapi kalau bukan sekarang ditempat ini, kapan lagi? Benthala 'kan selalu hidup bersembunyi, pengecut."

"Apa Lo bilang barusan?!"

Heeseung mengangkat sebelah tangannya sedikit melirik ke belakang, meng-kode untuk tidak saling ikut campur. Sebab anggota Nabastala pun tidak ikut menjawab pertanyaan nya. Seakan tunduk sepenuhnya dibawah kuasa sang alis camar.

"Urusan kalian itu urusan diluar sekolah. Salah jika kalian datang ke sekolah cari masalah. Kita bisa menjebloskan kalian ke penjara sesuai pasal 170 KUHP dan akan merujuk ke pasal 358, jika kalian tidak tahu untuk orang yang terang-terangan mengunakan kekerasan bahkan sampai ada yang luka berat--kalian akan dipenjara maksimal 7 tahun. Dan yang sengaja ikut dalam penyerangan," netranya bergulir menatap bocah-bocah ingusan yang turut menyertai Nabastala, "juga akan mendapat sanksi pidana."

Bocah-bocah yang dimaksud mendengus marah meski tak dapat dipungkiri ada rasa takut diselimuti rasa bersalah yang menghinggap. Mark mengangkat alis camarnya, "yaah urusan kita sudah selesai. Tidak perlu berpidato panjang-panjang."

Mark berbalik, mengajak bala sekutunya untuk segera pergi. Meski tetap diiringi umpatan tak terima dari Benthala atas kerusakan sekolah mereka. Namun mereka tak peduli, meneruskan langkahnya melewati gerbang dengan perasaan yang berbeda-beda.

Sebelum benar-benar menghilang dari gerbang Mark, berbalik, "oh iya. Aku Mark Lee, leader baru Nabastala."

Pongahnya yang dihadiahi tatapan tak percaya dari Benthala terlebih seseorang yang baru tiba disana.

Mark tersenyum puas berjalan paling belakang dari para anggota. "Misi berhasil. Mereka kehilangan satria penjaga. Setelah ini kita bisa masuk dengan mudah."

Tidak ada yang tahu kejadian semalam selain Jeno dan Mark yang berada di lokasi kejadian, Renjun adalah bonus sebab dia tidak berada di lokasi kejadian. Ingatannya melayang pada malam gerimis yang membekukan buku-buku jarinya. Waktu itu sandal lab yang dia bawa terjatuh begitu saja tatkala lengannya menjuntai lemas. Menatap tak percaya pada motor sport yang diyakini milik Ji-Sung hancur tak berbentuk.

Jeno sudah meraung-raung meneriaki nama Ji-Sung berkali-kali. Namun tak ada sahutan sama sekali.

Jelas. Sebab tak ada jasad disana, selain bangkai kuda besi yang tersisa. Dengan sisa tenaga yang ada Mark berjalan tertatih, lututnya terasa perih tetapi hatinya entah kenapa terasa jauh lebih perih. Sialnya saat posisi mereka sudah dekat, Jeno langsung berdiri dan berlari kesana-kemari. Tetap meneriakkan nama anggota termuda mereka tanpa menghiraukan kondisi Mark yang sekarang tengkurap disamping motor Jeno.

Lewat interkom Renjun berujar, "mobil mereka melewati arah arena CMW. Kemungkinan besar mereka anak Benthala."

Kekehan miris ia layangkan. Renjun tak mengerti, apa dia tengah mengasihani dirinya sendiri atau karena berurusan kembali dengan sekumpulan manusia mengerikan seperti Benthala. Yang dia tahu, saat Porche itu melintasi lampu  lalulintas dan seseorang terjatuh dari sana, dia menyemburkan teh hangat yang baru saja disesap.

"Nggak mungkin!!"

"Ada apa?" Mark langsung melek begitu mendengar suara batuk-batuk heboh dari seberang.

Renjun tak berkedip saat mengamati mobil itu melaju seolah tak ada beban, "itu Ji-Sung!!"

"Dimana dia?!" Mark bangkit dari tidurnya dan mengedarkan pandangannya untuk mencari Jeno, "dimana dia?!"

Tanpa diketahui oleh Mark, Renjun tersenyum tipis.

Dia selamat.

Nabastala vs Benthala [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang