Gerimis tak kunjung reda sejak petang menjelang. Menyisakan kabut kelam berselimut gundah yang mencekam. Aspal di jalanan sana sudah basah kuyup tak lagi menguarkan aroma petrichor seperti saat baru disambut. Hujan yang mengguyur malam ini juga terlihat laras, tak terlihat saling berlomba-lomba, hanya mengikuti takdir yang menjatuhkan nya. Nampak pasrah dengan keadaan seperti seharusnya. Sama seperti yang dilakukan Jisung saat ini.
Menatap buliran hujan yang jatuh perlahan-lahan. Menghipnotisnya selama berjam-jam. Bukan atas keinginannya juga tetapi lagi-lagi karena keadaan. Tadinya dia bersikeras untuk menemani Jaemin, paling tidak sampai dia siuman. Namun, bunda Jaemin tidak mengijinkan dan menyuruhnya pulang bertepatan jam pulang sekolahnya. Yang jadi masalah, gerimis yang tak kunjung reda ini menahannya pergi. Membelenggu raga nya disini, meski pikirannya masih berkelana kemana-mana.
Bukan baru satu hari dia bergabung dengan anak berandalan. Tentu dia tahu dengan pasti, kerasnya kehidupan jalanan. Kecelakaan Jaemin terjadi bukan karena kemalangan belaka. Seseorang sengaja melakukannya, pikirnya.
Hembusan napasnya terdengar samar diantara gemericik air, "aku tahu kok."
Pernyataan yang dia layangkan menuju teman-temannya yang pulang duluan hanya sebatas gumaman yang tak tersampaikan. Mereka yang memilih pergi duluan dan meninggalkan nya seorang diri jelas mencurigakan.
Padahal Jisung merasa tak ada yang salah dengan nya. Dia pembalap handal yang dilantik langsung oleh leader mereka sendiri. Pemegang sabuk hitam karate. Dan juara satu lomba menghayal tentang makhluk asing.
Lupakan yang terakhir.
Namun, lagi-lagi dia merasa dibeda-bedakan. Meski dirinya termasuk anggota termuda di Nabastala, dengan kemampuan yang dimiliki sekarang dirasa sudah cukup untuk bersaing dengan para senior. Lalu, "kenapa kalian tetap merahasiakan sesuatu dari ku?"
Lama-lama dirinya merasa muak duduk diatas motor sambil menatap prihatin pada riak hujan, seperti orang bodoh saja. Tak hanya itu, punggungnya sudah terasa nyeri akibat tak bersandar sedari tadi. Baru sadar jika dirinya termasuk golongan remaja jompo.
Setelah lama bergelut dengan pikirannya, dia memutuskan untuk menerobos hujan. Jas praktik miliknya telah tanggal menyisakan seragam OSIS dengan dalaman kaus hitam. Dia tidak membawa mantel ataupun jaket, jika diingat dirinya diseret paksa oleh Haechan tanpa persiapan. Bahkan dia masih mengenakan sandal lab tanpa kaos kaki apalagi sepatu. Total dia merasa kedinginan.
"Moga aja nggak sakit."
|••••|
Lensa bulat yang terbias cahaya hijau dari komputer terlihat mengembun. Terlebih saat pemiliknya mengembuskan kuat napas nya. Sebuah bukti seberapa dingin suhu dalam ruangan. Decakan frustasi kerap kali terdengar mengiringi jarinya yang mengetik abstrak.
"Ada virus komputer! Aku tidak bisa melacak," ujarnya lewat interkom.
Diseberang sana Mark terdiam menenteng helm disebelah tangannya. Tatapannya menghunus tajam pada riak hujan yang semakin kerap.
"Tunggu—aku menangkap sinyal," imbuh Renjun yang kembali sibuk mengetik. Layar pada komputer itu berubah, menampilkan vidio tanpa suara. Terlihat beberapa pengendara dengan mobil Porsche menggiring motor sport menuju daerah pusat perbelanjaan. Sayangnya, "mereka menuju jurang. Tepat dibelakang pusat perbelanjaan!"
Cukup dengan itu Mark mengenakan helmnya serampangan. Menggunakan pita suaranya dengan apik, "NAIK MOTOR MU, LEE JENO!"
Renjun sampai terjenggit mendengarnya. Setelahnya hanya deru motor yang mengisi rungu nya. Bersama dering ponsel putus-putus yang sedari tadi tak diangkat oleh pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala vs Benthala [REVISI]
Teen FictionBenthala identik dengan rahasia. Tak pernah bermaksud untuk saling menyerang apalagi memusuhi. Namun, Nabastala yang keras kepala masih terus mencoba menguliti rahasia yang mereka sembunyikan. Memupuk Benthala menjadi sosok yang keji tak pandang co...