Lalita Ariani Tarasari tak pernah menyangka akan mendapat berkat istimewa ini sejak lahir. Bukan atas kemauannya bukan pula atas kehendaknya. Jika diberi pilihan pun dia lebih memilih hidup normal seperti teman-temannya bukan gadis pembawa nasib buruk seperti yang ditakutkan.
Kejujurannya dianggap kebohongan, kebaikannya dianggap ancaman, menuntun Lita lebih menutup diri dari orang sekitar. Tak ingin mengungkap banyak rahasia diantara mereka. Namun, malam ini rahasia terbesar milik Benthala maupun asal mula Berdikari dibangun tergambar jelas dalam benaknya.
"Mas, yakin mau bikin sekolah? Kenapa nggak bikin bisnis aja biar dapet uang banyak kayak ayah?"
"Yakin dong. Hei, Naresh, jangan samakan aku dengan ayah mu."
"Mas Adam, Mas Adam, aku mau lihat dong sekolahnya!"
"Besok saja."
"Uwaa aku penasaran sama sekolahnya. Naresh, ayo kita ke sana besok!"
"Iya iya."
"Ganesh, Naresh, pokoknya besok kalau kalian lulus SMP kalian harus jadi murid generasi pertama milik Berdikari HAHA!"
Latar tempat berganti, kebun kosong dengan bangunan setengah jadi terpampang nyata. Lita menghentikan langkahnya ditengah anak tangga, menunduk dengan mata terpejam menoleh kearah kiri dimana perbatasan dengan ruang loundry asrama.
"Kau sudah tanam tumbal?" bisik seorang pria paruh baya pada Adam. Netranya berwarna biru jernih bagai air laut terperangkap dalam irisnya. Tubuhnya kekar, tegap dibalut jas kuno yang nampak mewah pada jamannya.
"Seperti yang ayah minta."
"Bagus. Dimana kau letakkan?"
"Di sumur belakang."
Latar kembali berganti kali ini sosok Ganesh dan Naresh yang tengah berseteru yang muncul. Seragam keduanya putih-abu menandakan waktu sudah berlalu.
"Apa yang ayah udah lakuin ke, Abang? Kenapa Abang jadi kayak gini?"
"Brengsek, jangan bawa-bawa ayah," geram Ganesh sebelum tertawa terbahak-bahak. "TENTU SAJA INI SEMUA KARENA AYAH!"
"Berhenti, bang! Jangan korbankan banyak orang lagi!"
"Persetan! Aku ingin lepas dari kutukan!" Sosok Ganesh berjalan sempoyongan menjauhi adiknya. Dibelakangnya Naresh mengeluarkan keris yang tersimpan dalam tas jinjingnya. Keris tajam yang berakhir bersimbah darah dalam sekejap mata, "kau harus dihentikan, Ganesh, sebelum kutukan itu kau berikan pada orang-orang tak berdosa.
Setelahnya teriakan kesakitan memenuhi gendang telinga Lita, "jadi siapa? Ganesh atau Naresh?"
Rasa mual terasa mengaduk-aduk perutnya membuatnya enggan meneruskan langkah. Lebih memilih menyandar pada anak tangga terakhir. Sayangnya begitu besi pembatas bersentuhan dengan kulitnya kilas masa lalu kembali menghantuinya.
"Dia sudah tidak bernyawa. Apa yang harus kita lakukan?"
"Dia memang sudah diincar. Palsukan saja berita kematiannya. Jangan ada yang tahu dia merenggang nyawa ditempat ini."
Jasad anak kecil perempuan itu digotong menjauhi bangunan. Meninggalkan Adam yang terdiam membisu ditempat. Keputusannya untuk menutup Berdikari dari dunia luar semakin kuat. Dia hanya harus meyakinkan orang-orang bahwa Berdikari tempat yang sesuai untuk menuntut ilmu. Sekarang Lita mengerti, Berdikari yang dibangun seakan dikelilingi benteng terletak jauh dari permukiman warga untuk mengurangi tumbal yang direnggut secara paksa tanpa kesetujuan sang pemilik.
"Lita!" Lengan mungil Lita digenggam Angel kemudian dirangkulnya tubuh yang lebih kecil. "Atur nafas kamu Lita."
"Angel." Sungguh Lita merasa tak sanggup hidup bila bersentuhan dengan hal baru selalu saja ditunjukkan kehidupan pahit terdahulu.
Sepasang kelopak matanya terpejam merasakan kepalanya dielus sayang oleh Angel. Dia sendiri lebih memilih bungkam dari pada bertanya sebab ia tahu semua ini terasa berat untuk kembali diingat. Deru nafasnya mulai stabil saat Jingga berhasil menyusul dengan larian sementara Clara sudah menyeret-nyeret kakinya lalu tumbang dengan ngos-ngosan.
"Berhenti dulu," ujarnya terbata-bata. Angel harus merelakan pahanya untuk menjadi bantal gadis itu. Diantara mereka memang Clara satu-satunya yang paling payah soal fisik. "Makanya kalo olahraga itu sambil nyebar gosip," sindirnya.
Jingga mengabaikan mereka, lebih memilih mengutak-atik smartwatch milik Niki yang dia pinjam. Pelacak yang mereka pasang dimasing-masing anggota Benthala masih sama kuatnya sejak terakhir kali. Sinyal yang diyakini milik Jake terasa beberapa meter lagi. Anehnya ada sinyal lain yang sama kuatnya disana, "siapa lagi ini?"
Bersamaan dengan keheranannya para laki-laki berhasil menyusul mereka dengan keringat dingin mengalir dari tengkuknya. Niki berjalan mendekat meski terhalang seonggok manusia yang memenuhi jalan. Sementara Mark dan Haechan memilih mengatur napasnya selagi memahami mengapa gadis-gadis ini turut dalam misi.
"Apa yang Lo temuin?"
Jingga menoleh, menunjukkan sinyal aneh yang masuk dalam gadgetnya. Niki turut mengamati. Ada monitor tubuh baru yang muncul ke layar, tekanan darah, jumlah langkah, juga detak jantungnya teramat berbeda dengan sinyal pertama.
"Dengan langkah kaki sebanyak ini, pasti orang yang sibuk."
"Anggota Benthala yang lain? Partner Jake?"
"Tidak ada yang lebih dekat dengan Jake selain Heeseung."
"Dia ada di UKS kan?"
"Benar. Jangan-jangan dia punya partner baru?"
"Kita harus susun rencana sebelum masuk ke dalam," tutur Jingga menatap dua orang baru yang menyambangi.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi didalam, apa yang bisa kita lakukan memang?"
"Bodoh, yang paling penting jaga keselamatan masing-masing." Itu Clara dengan keegoisannya. Mengundang tangan Angel untuk membekap mulutnya.
"Tentu saja nona, kita masuk bersama-sama tentunya kita keluar pun bersama-sama."
Lita menahan diri untuk tidak bersuara, sebenarnya dia melihat akan ada nyawa yang melayang jika mereka memaksa masuk ke dalam. Namun, mereka sudah lebih dulu melangkah mendekati pintu rooftoof begitupun dengan Angel yang memapah Lita, "kau masih kuat?"
Lita mengangguk kecil, setidaknya dia harus ikut dan mencegah kemungkinan yang berlaku. Meski dia menantang takdir tuhan, tapi dia percaya hal sekilas yang dia lihat tadi bukan sepenuhnya takdir tuhan. Hanya gambaran dari Jin yang membuatnya kafir dalam sekejap. Mempercayai masa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala vs Benthala [REVISI]
Roman pour AdolescentsBenthala identik dengan rahasia. Tak pernah bermaksud untuk saling menyerang apalagi memusuhi. Namun, Nabastala yang keras kepala masih terus mencoba menguliti rahasia yang mereka sembunyikan. Memupuk Benthala menjadi sosok yang keji tak pandang co...