Leather jacket mahal warna hitam dilemparkan sembarangan. Sosoknya mengacak rambut frustasi bahkan sampai menggigiti jarinya cemas. Netranya bergulir kesana-kemari tanpa fokus. Berkali-kali dia mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya. Sementara si pemilik dimple hanya duduk santai seolah tak terjadi apa-apa.
Sunghoon mengalihkan atensinya pada dua orang yang baru saja tiba. Namun tetap tak mengurangi fokusnya pada permainan catur yang dia mainkan bersama Niki. Sejurus kemudian dia mengangkat sudut bibirnya, "melihat ekspresi Jay, kalian sepertinya gagal ya?"
Tuk.
Niki berdecak saat Sunghoon mengepung bidak catur miliknya. Dia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana dalam arti lain, dia kalah. Akhirnya Niki memilih untuk mendengarkan laporan dari dua anggota nya alih-alih tak terima, "apa yang sudah terjadi, Jungwon? Misi kalian gagal?"
Melihat tak ada tanda-tanda waras pada diri Jay, terus terang saja dia lebih memilih bertanya pada Jungwon. Pemuda itu tersenyum palsu menunjukkan dimple-nya.
"Siapa bilang? Kita berhasil kok."
Niki mengerutkan keningnya, "yang bener? Kok si Jay kayak gitu?" tunjuknya pada Jay yang masih menyelami alam bawah sadarnya.
"Biasalah. Bawang putih yang diwarnai merah tak akan sama dengan yang asli. Dia tetap akan menjadi bawang putih saat bertemu air nanti."
Jay yang tersadar dari lamunannya mendengus kasar, "kalau kalian lupa, kita semua sama."
Lagi, Jay mendengus kasar tatkala ditatap dalam oleh para anggotanya. Sedikit membuang muka sebab terlalu enggan untuk mengenang. Sayangnya Sunghoon malah menyahut lirih, "benar. Kita semua sama, selalu sama."
Suasana dalam markas mereka meredup, ditemani remang-remang dari cahaya lampu tandon. Mereka duduk melingkar, tanpa sadar menunduk dalam. Tak ada canda tawa yang menghiasi yang ada hanya wajah murung yang dilanda frustasi.
"Aku merindukan mereka."
Gerimis diluar sana masih awet saat rintiknya bersenandung melodi sendu. Menuntun tiap raga yang terluka untuk segera menemui selimutnya. Bergelung damai tanpa beban seperti seharusnya. Hujan memang menjadi pengantar tidur yang terbaik bukan?
|••••|
"Adiratna Jingga Lasmaya, jangan tertipu sama namanya yang anggun. Dia cuma cewek tomboi yang berangkat sekolah karena terpaksa." Yang dibicarakan tengah menyalip teman satu kelasnya untuk memasukkan bola dalam keranjang. Kelas sebelah, memang tengah jam olahraga praktik bola basket. Dengan perbedaan tinggi yang jauh membuat gadis itu dengan mudah mendapat skor dan tak jarang mendapat gerutuan iri dari lawannya.
"Yeaay!! Jingga keren!!"
"Lihat, bocah yang lagi teriak-teriak. Namanya Lalita Airani Tarasari, dapet dari browsing arti namanya ternyata full sun. Entah kenapa cocok banget sama orangnya."
Dalam sekelip mata senyumannya mentereng, "lihat nggak yang pake almet? Yang paling bening dari yang lain. She's my beautiful girl, Angelina. Sayang ku, cinta ku, aakk"
"Cewek lu?"
"Bukan lah! Ya kali dia mau sama gua."
"Gitu aja banyak gaya lu."
"Bodo!"
"Ape lu? Sok iye."
"Masalah gitu?"
Kelas mereka yang memang dilantai dua memudahkan mereka untuk menyegarkan mata melihat anak kelas lain yang sedang berolahraga. Tapi mengapa saat jam pelajaran berlangsung mereka justru berada diluar kelas?
"JAKE!! JUNGWON!! Kalian ini ya, udah nggak ngerjain pr, bikin ulah di kelas, dan sekarang dihukum malah bikin ribut sendiri? Hukuman dari ibu kurang? Mau ibu tambah lagi, IYA??!!"
Bangku yang tadinya mereka duduki kembali pada posisi awal, diangkat diatas kepala.
"Enggak bu, maaf bu. Janji nggak ngulangi lagi." Mereka kompak berjanji.
Tak berani menatap sang wanita paruh baya yang membenarkan letak kacamata nya. Matanya masih melotot garang dengan rotan kecil terselip diantara buku-buku bawaannya.
Menarik napasnya kesal, ibu guru yang tingginya tak sampai pundak mereka perlahan mendatarkan pandangannya.
"Sudah! Jangan berjanji jika kalian tidak bisa mengingat nya! Selesai kan tugas kalian minggu lalu dan selesaikan rangkuman hari ini. Pertemuan berikutnya wajib dikumpul kan!! Tidak ada alasan."
"Hah?! Rangkuman apa bu?"
"Rangkuman bab dua. Sudah ibu berikan materi yang lebih jelas dan rinci dari pada dibuku. Rangkuman nya sudah ditulis sekretaris kalian, jika ada yang tertinggal pinjam catatan yang lain."
Mereka serempak menengok jendela dibelakang mereka yang menampakkan papan tulisnya penuh dengan tulisan. Belum catatan sebelumnya yang telah dihapus.
Mereka terbelalak, "bu, yang bener aja. Banyak banget itu! Pelajaran ibu kan lusa, mana selesai nulis bejibun kayak gitu."
"Iya ibu nggak kasian sama kita? Kumpulin minggu depan aja ya bu?"
"Jangan banyak protes apalagi nawar. Nulis itu sejam juga selesai. Kasian noh sekretaris, nulis udah dua kali tapi nggak pernah tuh telat ngumpulin tugas. Kalian harus nya bisa mencontoh!"
Bel yang berbunyi tak bisa menyelamatkan mereka dari tugas yang mutlak.
"Nyesel gua masuk kelas MIPA 1."
"Bukan cuma lo."
Mereka sama-sama menghela napas pasrah menatap punggung guru biologi mereka yang mulai menjauh.
"Oh iya, sampe mana kita ngobrol tadi?"
Jake mengedikkan bahunya kembali melempar pandangan pada tengah lapangan, "fivequeen."
"Pequin??"
"Lima ratu. Hati-hati dengan mereka. Selain OSIS dan Benthala, mereka kumpulan gadis yang memiliki kuasa disini. Terutama si anak donatur terbesar."
Jungwon membesut hidungnya, "kau tidak akan menyuruh ku berurusan dengan mereka kan?"
Yang lebih tinggi tertawa renyah, "sayangnya, IYA."
"Ck, kali ini apa lagi?"
Jake tersenyum jumawah, "baru tiga dari lima orang yang baru saja ku sebut. Cari tahu kemampuan mereka yang bisa membantu. OSIS akan kewalahan mengurus karnaval jika masih bermusuhan dengan Benthala. Ku harap kau mengerti."
Kursi yang dia duduki diangkut ke kelas. Menyisakan Jungwon yang masih bertahan ditempat. Netra bulatnya bertubrukan dengan gadis kepang di sebrang lapangan. Dengan jarak sejauh itu, hebatnya pandangan mereka bisa terkunci. Seakan tahu merasa terancam satu sama lain.
Jungwon terkekeh, beranjak dari tempatnya menyusuri lorong, "sepertinya dia yang paling susah dikendalikan."
"Apa aku harus meminta bantuan Sunoo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nabastala vs Benthala [REVISI]
Teen FictionBenthala identik dengan rahasia. Tak pernah bermaksud untuk saling menyerang apalagi memusuhi. Namun, Nabastala yang keras kepala masih terus mencoba menguliti rahasia yang mereka sembunyikan. Memupuk Benthala menjadi sosok yang keji tak pandang co...