Chapter 29 : Yang tersisa

16 2 0
                                    

Sore ini, sepulang sekolah mengadakan rapat OSIS seperti yang dikabarkan. Bukan hanya anggota OSIS bahkan pak Adam pun ada disana. Membuat anggota OSIS bertanya-tanya ada apa gerangan yang telah berlaku. Jika beliau sudah turun tangan itu artinya ada sesuatu besar yang harus dia urus sendiri. Kali ini setelah karnaval besar-besaran yang sukses apa ada hal lain yang sama besarnya?

"Untuk memulai rapat sore ini, kita buka dengan kabar duka terlebih dahulu." Pak Adam nampak tenang kendati pasukannya ribut menerka dan menjawab masing-masing.

"Ketua OSIS kita yang telah banyak berjasa, telah berpulang dua Minggu yang lalu."

Ucapannya bagai bom atom yang meluluh lantakkan anggota OSIS yang masih belum tahu kebenaran sampai sekarang, termasuk Jake salah satunya. Kebisingan saling beradu memekakkan telinga anehnya rungu nya menuli hingga dengungan panjang berhasil menyadarkan kewarasannya.

"Heeseung meninggal?"

"Karena faktor kelelahan dan kurang beristirahat, almarhum Lee Heeseung tidak dapat tertolong." Pak Adam lebih memilih melompati alasan utama Heeseung kekurangan darah dan melirik Jake yang membisu ditempatnya.

"Saya yakin sebagian kalian pasti sudah tahu. Karena kalian sekolah ber-asrama, sulit untuk memberikan izin kalian semua untuk bertakziah beramai-ramai. Karena itu kemarin hanya perwakilan saja."

Keadaan semakin ramai dan mulai tidak terkondisikan membuat pak Adam mengebrak meja dan melempar tatapan nyalang. "Ini bukan sesuatu yang bisa kalian ributkan. Semua itu sudah berlalu. Saat ini saya mendapat amanah dari almarhum untuk melanjutkan OSIS tanpa dia."

Satu hembusan berat terbuang, "siapa wakil ketuanya disini?"

"Saya pak." Angel mengangkat tangannya dengan berani kendati perasaannya sudah semrawut tak karuhan.

"Baik, kamu naik pangkat menjadi ketua OSIS menggantikan jabatan sebelumnya. Kira-kira setengah tahun lagi sebelum pemilihan OSIS berikutnya. Dalam kurun waktu itu, apa kamu butuh wakil disamping mu? Saya tidak ingin merubah susunan anggota OSIS yang lama, jika ingin posisi wakil terisi maka tunjuk lah siapa yang pantas."

Angel termenung. Sama sekali tak berpikir hari ini dapat mewujudkan impian nya menjadi ketua OSIS. Dengan cara luar biasa pula mendapatnya. Baginya mimpinya telah lama pupus semenjak Heeseung lebih unggul darinya waktu pemilu tahun kemarin. Karena Heeseung telah membuktikan memimpin OSIS dengan sangat baik, Angel sendiri pun merasa puas dengan jabatannya yang sekarang. Dia mana mungkin berpikir jika kemudian hari Heeseung akan lepas jabatan sesingkat ini. Hingga tanpa sadar kesempatan itu muncul lagi kepadanya.

"Saya tidak perlu wakil. Jika itu memang tidak diperlukan." Padahal dia seorang wakil selama ini, apa posisi wakil memang setransparan itu?

"Jika kau mampu. Rapat kali ini saya akhiri, sekretaris tolong diurus susunan anggota dan hapus sesuatu yang seharusnya tidak ada."

"Ba-baik pak." Sesuatu yang seharusnya tidak ada itu apa?

Sore itu mereka membahas beberapa hal tentang perubahan pengurus OSIS yang baru, lebih tepatnya ketua mereka yang baru. Pak Adam telah meninggalkan kursinya sejak satu jam yang lalu, rapat singkat itu diakhiri dengan apik oleh Angel sebelum dibubarkan karena senja sudah berada di peraduan.

Saat yang lain tengah berkemas, Jake bangkit dari duduknya dengan kasar.
"Kenapa ..? Kenapa hal sepenting ini kalian sembunyikan dari ku?" Kedua bola mata Jake menyorot kecewa.

Yang lain lebih memilih membubarkan diri  menyisakan Jay dan Angel disana. Angel tak merasa diajak berbicara karena jelas, dia bukan termasuk salah satu dari mereka. Jadi setelah merekap absen dan membersihkan meja, Angel beranjak menuju jendela untuk menutup tirainya.

BRAK

"KENAPA JAY KENAPA??!!"

Angel berjenggit, degup jantungnya berdebar setelah gebrakan dan teriakan Jake menusuk telinganya. Tirai yang baru dia genggaman terlepas membuatnya salah fokus akan tahi cicak di ujungnya.

"Karena gue penjahat disini? Karena gue pemegang kutukan sialan ini? Atau .. karena gue yang udah bunuh dia?"

Jay tersentak menatap lekat pada rupa Jake yang kehilangan ronanya. Kedua matanya menatap kosong tanpa emosi membuat Jay merasa ada yang tak beres dengan pemuda itu.

"Heeseung mati karena takdir. Bukan salah elo atau Benthala. Ini takdir Jake! Tidak ada seorang pun yang bisa melawan takdir."

"Bohong! Aku tahu kalian berbohong selama ini. Semenjak aku keluar rumah sakit sampai sekarang kalian selalu bersikap aneh pada ku ternyata ini alasannya. Jangan kira aku tidak merasakan keanehan ini, sikap kalian itu lebih dari jelas."

Jay lebih memilih bungkam kali ini dia yang kehilangan ronanya. Selama ini mereka mencoba menerima takdir yang tuhan berikan. Takdir yang bermula dari tangan Jake menjalar sampai menghilangkan nyawa rekan mereka sendiri, berpikir ini hal lumrah setelah keluarga mereka telah lebih dulu tewas ditangannya. Namun ternyata ini terasa berat bagi mereka. Meski Jake tak bermaksud demikian, dia jelas dikendalikan oleh permata kayangan. Namun tetap saja nyawa Heeseung telah menjadi korbannya. Dia tidak akan kembali, itu adalah satu hal yang sudah pasti. Sementara Jake disini masih merayakan kebebasannya seorang diri.

Jay merasa tak adil.

Mereka tengah berduka, tapi Heeseung terlalu memikirkan perasaan Jake yang bahkan tak tahu menahu tentang kematiannya.

"BRENGSEK!!" maki Jay frustasi.

Jake tersungkur didepannya, membiarkan air mata penyesalan mengalir dari pelupuknya sebagai saksi. Bahwa dia sama terlukanya. Dan rasa ini lebih menyakitkan dari patah hati yang pernah mereka rasakan. Cahaya mentari memerah bagai darah terciprat di angkasa lepas. Entah darah dari luka yang mana hanya rasa sakit yang masih terasa. Sakit, sakit, sakit. Tuhan, ini menyakitkan.

Nabastala vs Benthala [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang