Arkan dan Aira sudah di rumah, Aira tersenyum sendu saat terbangun langsung melihat Arkan yang masih menemaninya.
Meski matanya tertutup dengan posisi duduk sedikit membungkuk, tangannya masih bergerak mengusap kepala Aira.
Aira mencekal tangan Arkan, yang lantas langsung membangunkan Arkan yang siaga.
"Humaira? Ada apa? Ada yang sakit? Kamu mau apa---"
"Om." Sela Aira sebelum Arkan menanyakan banyak hal lagi, "Pindah ke kamar lo."
Mereka bersitatap. Aira yang hampir menangis lagi atas rasa malu dan bersalahnya pada Arkan lantas membalikkan tubuhnya membelakangi Arkan.
"Setelah kamu tidur lagi saya akan pindah ke kamar saya." Ucap Arkan, menatap punggung kecil Aira dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan.
(。・//ε//・。)
"Humaira, saya buatin kamu sarapan. Ayo, keluar!" Arkan mengetuk pintu kamar Aira, namun tak ada jawaban.
Arkan menempelkan telinganya ke pintu, lalu membuka pintu dan bergegas menyusul Aira ke kamar mandi. Berlutut di hadapan Aira sambil memegang kedua pundaknya.
"Masih mual?" Tanya Arkan dijawab anggukan dari Aira.
Wajah Aira basah oleh air bercampur air mata, sembab dan berantakan seperti hatinya.
"Kita keluar saja, ya?" Aira tak menjawab, namun Arkan tetap melakukan apa yang ia katakan tadi. Pun Aira tak membantah karena tak memiliki cukup energi lagi.
Setelah mendudukkan Aira di kursi meja makan, Arkan menghidangkan makanan buatannya.
"Saya buatin kamu sup, terus juga ada salad buah sama puding." Arkan kemudian duduk di hadapan Aira.
Aira menatap masakan Arkan dengan helaan napas.
"Katanya makanan berkuah dan hangat bisa meredakan mual dan bikin perasaan lebih nyaman, tapi kalau masih mual kamu bisa coba makan salad buah atau pudingnya." Jelas Arkan, "Selamat makan."
Aira mencoba sup sedikit, memang kuahnya yang hangat membuat mual Aira mereda, tetapi Aira tidak ingin makan.
Aira bangkit, Arkan turut menyusul dan mencekal tangannya.
"Gue gamau."
"Kamu harus makan, Humaira. Dari semalam kamu belum makan, kamu bisa sakit. Ada nyawa dalam rahim kamu yang juga perlu makan."
Diberitahu begitu malah membuat Aira lantas berjongkok dan menangis dengan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya.
"Gue gamau dia. Gue gamau dia terus tumbuh sehat di rahim gue."
Aira benar-benar tidak siap dengan semua yang sudah terjadi. Yang ada setiap mengingatnya Aira akan merasa sesak yang nyata membekas dalam hatinya.
Arkan mendekat perlahan, memegang kedua pundak Aira yang bergetar, "Humaira, kamu memang korban, nggak ada yang mau seperti ini. Tapi, anak ini juga nggak bersalah. Kamu nggak bisa terus-terusan menyiksa dia dan kamu sekaligus."
"Saya di sini, Humaira. Setidaknya jaga kalian untuk saya. Dan saya juga yang akan menjaga kalian ... kamu, dan anak kita."
Aira tersenyum kecut, air matanya yang semula penuh di pelupuk mata sudah meluap, turun membasahi pipinya, "Dia bukan anak lo, Om. Mau berapa kali lo bilang kebohongan itu?"
Arkan terdiam.
"Dia anak kamu, dia juga akan menjadi anak saya." Jawab Arkan pada akhirnya, ia meraih ketua tangan Aira, "Humaira. Izinkan saya menjadi ayah dari anak-anak kamu, saya akan menjaga dan menyayanginya seperti anak saya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Kanaira (On Going)
Romantiek[Ringankan untuk follow sebelum baca yaw-!] Bagaimana kalian menghadapi semua hal baru yang tiba-tiba datang tanpa persiapan dan diluar kehendak kalian? Siapa yang tahu takdir, setelah menghadapi hal besar yang membuatnya hancur ia dipaksakan menika...