"Kita pisah di sini, ya."
Ya setiap yang bersama pasti akan berpisah.
.
.
.
Contohnya shaf sholat antara laki-laki dan perempuan.
Awalnya datang ke masjid dari rumah bersama, namun sekarang Arkan dan Aira terpisah oleh shaf. Dari sholat isya sampai acara pengajian dimulai. Malam ini masjid ramai dipenuhi Jamaah, yang bahkan ada yang dari komplek sebelah.
Aira duduk di samping Bu RT dengan sapaan ringan nan sopan, yang kemudian Aira dikenalkan oleh Bu RT pada ibu-ibu di sana--- baik yang tadi pagi belanja sayur ataupun tidak pernah ia lihat sebelumnya. Setelah basa-basi seperlunya, mereka fokus pada susunan acara hingga sesi ceramah yang dibawakan oleh seorang ustadz.
Tidak semuanya fokus, ada yang bahkan mengobrol daripada mendengarkan ceramah.
"Masya Allah.. tambah ganteng aja ya Mas Arkan?"
"Iya, udah lama banget nggak liat. Sekalinya keliatan lagi malah udah punya istri."
Aira tak sengaja menguping. Awalnya tidak peduli, namun karena nama Arkan yang disebut membuat Aira penasaran juga dan kehilangan fokus pada ceramah saat ini.
Masalahnya bukan hanya 1-2 wanita, tetapi ada banyak yang membicarakannya. Sedikit banyak adalah hal baik dan melangitkan Arkan.
"Suaranya juga Masya Allah, serasa pengen bawa pulang dijadiin imam pribadi."
"Iya, Masya Allah banget. Arkan itu tipe suami idaman semua wanita. Entah dari mukanya, suaranya, bahkan semua sikap dan yang ada di dirinya semuanya sempurna."
"Arkan ada niatan nambah istri nggak, ya?"
Entah, Aira merasa panas mendengarnya. Mereka tidak menghargai perasaannya sama sekali, meski bagaimanapun Aira tetap istri sah Arkan. Aira maklumi sih, karena mereka tidak menyadari keberadaannya di sini yang berstatus istri sah Arkan.
Selesai acara Arkan tampak masih berbincang dengan ustadz yang tadi menyampaikan ceramah, mereka tampak akrab, seolah sudah saling mengenal sejak lama. Sesekali Arkan menunjuk ke arahnya hingga pandangannya dan ustadz terarah pada Aira.
"Itu Arkan nunjuk ke sini bukan sih? Aduh.. mukena aku udah rapi belum?" Tanya seorang wanita muda yang Aira hiraukan. Membiarkan ekspektasi mereka, toh yang akan sakit hati dengan realitanya juga mereka.
Aira menaikkan kedua alisnya.
"Humaira!" Panggil Arkan, melambai menyuruh Aira mendekatinya.
Seketika ekspektasi yang tadi dibangun wanita-wanita pengagum suami orang itu terpatahkan realita.
Aira mengerjap canggung saat banyak pasang mata menatap ke arahnya dengan cara pandang yang berbeda-beda. Jelasnya mereka patah hati.
Tersenyum, Aira kemudian mendekati Arkan dan Ustadz.
"Kenapa?" Tanya Aira, ia meraih punggung tangan Arkan untuk bersalaman. Ingat dengan kewajibannya, serta ... ya Aira hanya ingin para wanita tadi sadar statusnya saat melihatnya.
"Perkenalkan, beliau ini guru aku waktu di pesantren."
Aira tersenyum, kemudian mengangguk sopan. Turut menangkupkan kedua tangan di depan dada seperti yang Ustadz tersebut lakukan, "Aira, Ustadz."
Ustadz bernama Hakim itu tersenyum, "Suami kamu sudah cerita tadi. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik dan limpahan keberkahan untuk pernikahan kalian."
"Aamiin."
Arkan tidak hanya memperkenalkan Aira dengan Ustadz Hakim, tetapi juga para tetangga lainnya--- ini juga sisi lain yang dimiliki Arkan, berbanding terbalik dengan saat berada di kantor, di masjid ini menemui beberapa masyarakat setempat yang berkumpul di tempat itu Arkan cukup ramah dengan tetap dalam batasan yang ia punya, terutama pandangannya yang selalu dijaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Kanaira (On Going)
Romance[Ringankan untuk follow sebelum baca yaw-!] Bagaimana kalian menghadapi semua hal baru yang tiba-tiba datang tanpa persiapan dan diluar kehendak kalian? Siapa yang tahu takdir, setelah menghadapi hal besar yang membuatnya hancur ia dipaksakan menika...