5) Izin

203 61 2
                                    

Setelah mengumpulkan keberanian begitu lama, Aira memutuskan untuk kembali masuk kuliah. Kebetulan hari ini kelas pagi, jadi pagi ini Aira sudah rapi dengan pakaiannya yang lebih tertutup--- kepalanya masih tak berbungkus.

Begitu langkahnya sampai di dapur, meja makan sudah tersaji dua piring nasi goreng.

"Baru saja saya mau panggil." Ucap Arkan saat baru menyadari kedatangan Aira, namun ia dibuat terheran dengan penampilan Aira yang rapi dan wangi, "Mau ke mana pagi-pagi udah rapi?"

"Ngampus."

Arkan mengangkat kedua alisnya, sedikit terkejut namun tak lepas turut merasa senang, akhirnya mau kembali kuliah, "Alhamdulillah. Kamu habisin sarapannya, ya, nanti saya antar."

Aira mengangguk, merasa lebih aman jika ia diantar oleh Arkan daripada harus naik taksi atau angkutan umum lainnya.

"Tadi subuh kamu sholat kan bukan lanjutin tidur?" Tanya Arkan, teringat tadi subuh ia mengedor pintu kamar Aira untuk membangunkannya, namun tak ada balasan selain gumaman.

Aira mengangguk singkat, acuh---  juga karena ia sedang menikmati nasi goreng buatan Arkan yang terasa sangat enak.

Sedangkan itu Arkan terus memperhatikan jemari Aira yang mengganggu fokusnya sampai selesai sarapan, "Cincin kamu mana?"

"Disimpan."

"Kenapa?"

Aira mengangkat wajahnya, menatap Arkan dengan malas, "Di kampus nggak ada yang tahu tentang pernikahan ini, dan gue gatau harus jawab apa kalau ditanyain banyak hal dan buat mereka curiga setelah gue hilang hampir 2 bulan terakhir semenjak kejadian malam itu." Aira menghentikan makannya dan meninggalkan meja makan.

*

"Lama banget!" Keluh Aira ketika Arkan baru menampakkan wujudnya di hadapannya setelah sarapan berlalu.

"Angkat rambut kamu!"

"Apaan sih?" Aira mengernyit heran, bingung dengan setiap perkataan dan perintah Arkan yang tanpa basa-basi.

Arkan mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah kalung dengan cincin pernikahan mereka yang menjadi permata kalung itu.

"Nggak perlu terlihat, yang penting kamu pake terus."

"Biar apa sih?"

"Biar kamu ingat kalau udah punya suami."

Aira mendelik, "Punya atau nggak punya suami, gue bukan cewek ganjen, ya! Nggak perlu lo ingetin kayak gitu." Walau kesal ia tetap melaksanakan apa yang tadi Arkan perintahkan.

Arkan menarik sudut bibirnya membentuk senyum, memakaikan kalung pada leher Aira, "Bagus."

Setelah kalung itu terpasang, Arkan melebarkan senyumnya, "Ingat, jangan dilepas!" Ia kemudian berjalan keluar mendahului Aira.

Aira mencibir sebelum menyusul Arkan.

Mereka berangkat bersama. Namun, Aira hanya meminta diturunkan Arkan di halte yang berada lumayan jauh dari gerbang, takut dilihat teman-teman kampusnya.

"Oke, thanks."

"Humaira." Panggil Arkan saat Aira hendak keluar mobil.

Aira mendengus, "Apaan lagi sih?"

Arkan mengulurkan tangannya. Aira menghela napas, dengan malas menyambut tangan Arkan dan mencium punggung tangannya.

"Uang kamu masih ada?"

Aira menaikkan sebelah alisnya, "Mau nambahin?" Sebelah tangannya mengadah.

"Yang hemat pakai uangnya, kan kemarin saya baru kasih."

Hai Kanaira (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang