Drrt..
"Nggak diangkat?" Tanya Aira saat Arkan mengabaikan dering telponnya.
"Cuma Zaid." Jawab Arkan.
"Masalah kerjaan, ya? Berarti penting dong, kok nggak diangkat?"
Arkan menarik sudut bibirnya, mendengus geli, "Palingan Zaid lagi pusing karena dijodohin sama Mamanya."
Aira menaikkan kedua alisnya, matanya membulat, "Wah, orang seganteng itu Kak Zaid ternyata belum nikah juga, ya? Kirain cuma om-om yang nikahin gue kemarin aja yang betah ngejomblo sampai harus dicariin jodoh sama orang tuanya."
Arkan berdecak, "Kamu nyindir aku, Humaira?"
"Eh, ada orangnya." Aira tertawa, puas menjahili Arkan yang meliriknya dengan cukup kesal.
"Lagian kayaknya aku juga lebih ganteng dari Zaid." Ucap Arkan sembari fokus menyetir membuat Aira mengulum bibirnya dengan tawa yang mereda.
"Emang siapa yang bilang gitu?" Tanya Aira, senyum-senyum melihat Arkan yang terbakar api cemburu.
"Coba tanya adek."
Aira benar-benar melakukan apa yang Arkan katakan. Ia menyentuh perutnya dan bertanya, "Dek, emang iya Abba ganteng? Kayaknya jelek deh, iya kan?"
Aira mengangguk-angguk, seolah ia benar-benar berbicara dengan bayi di dalam perutnya, "Tuh, katanya iya, Abba jelek." Ucapnya kemudian tertawa, puas sekali.
Drrtt..
"Om, coba angkat aja kali, siapa tau bukan Kak Zaid yang telpon, terus penting juga?" Ucap Aira setelah untuk kesekian kalinya ponsel Arkan berdering--- padahal Arkan sendiri bisa mendengarnya, bahkan ia mematikan telpon untuk kesekian kali meski tahu siapa yang berkali-kali menelponnya.
Perjalanan yang tidak terlalu jauh itu pun sampai. Rumah sakit.
Malam ini, meski Aira sudah sedikit merasa mendingan, Arkan tetap membawa Aira periksa. Daripada Aira, Arkan lebih khawatir memang.
Ting!
"Humaira, kamu tunggu di sini, saya ke toilet sebentar."
Aira menurut, duduk di kursi tunggu sembari sesekali melihat ke sekitarnya. Ada banyak orang dengan berbagai keperluan mereka bersama kisah pilunya. Setiap kali ke rumah sakit Aira merasa lebih bersyukur atas kesehatan dan rezeki yang diberikan atasnya.
Seorang anak kecil laki-laki berjalan melewatinya dengan sebuah mainan robot di tangannya. Namun, hanya beberapa langkah anak kecil itu mundur lagi, melirik ke arah Aira lalu menghadapnya.
"Hai, Tante cantik! Tante liat Papaku? Tadi Papa di sinii sama--" ucapan anak laki-laki itu terhenti, bibir pucatnya terkatup kembali, "Eh, Ummi." Senyumnya terbit lebar, menyengir dan terkekeh dengan tatapannya terlampau ke belakang Aira.
"Tante, aku udah dicariin Ummi. Bye-bye!" Lalu kakinya melangkah ke sana.
Aira yang masih sangat bingung, menatap arah perginya anak itu yang kemudian tertutup oleh orang-orang yang berlalu-lalang.
Aira tidak mengerti. Pertama dengan kedatangan anak itu yang tiba-tiba menanyakan papanya membuat Aira terkejut. Namun, belum selesai dengan kebingungannya anak itu sudah pergi lagi.
"Kamu cari siapa, Humaira?"
Aira menoleh, menatap Arkan yang sudah kembali dan duduk di sampingnya, lalu bergeleng, "Itu tadi ada anak kecil nyariin Papanya, terus pergi lagi."
Aira masih diam, mengingat-ingat wajah anak laki-laki itu yang terasa familiar di matanya, "Mukanya nggak asing, tapi mirip siapa, ya..?"
Arkan mengernyit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Kanaira (On Going)
RomanceBagaimana kalian menghadapi semua hal baru yang tiba-tiba datang tanpa persiapan dan diluar kehendak kalian? Siapa yang tahu takdir, setelah menghadapi hal besar yang membuatnya hancur ia dipaksakan menikah dengan orang baru yang bahkan ia tidak ken...