Beberapa Minggu kemudian..
Aira yang duduk di sajadah bersandar di kasur, membiarkan Arkan mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Bahkan mungkin hampir tidak terlihat seperti ibu hamil kebanyakan saking kecilnya.
“Masya Allah, ini sudah Minggu ke-16, 4 bulan, atau 120 hari.”
Aira turut mengulum senyumnya, “Nggak kerasa, ya. Waktu terus aja berputar.”
“Kamu tahu, Humaira? Pada hari ke 120 ini Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam janin, sesuai dengan hadits riwayat Muhammad Ismail al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari :
“Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah, (empat puluh hari kemudian), kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula (40 hari berikutnya).”
“Kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya menuliskan empat hal; ketentuan rejekinya, ketentuan ajalnya, ketentuan amalnya, dan ketentuan celaka atau bahagianya...”
“Untuk itu, sekarang kita berdoa sama-sama, ya..”
Dengan Arkan, Aira merasakan ketenangan dan bahagia hanya dengan kesederhanaan ini. Hidup dengan imam yang selalu membimbing serta menyayanginya adalah kebahagiaan terbesarnya. Aira merasa lebih dari cukup.
“Aamiin..”
Arkan tersenyum pada Aira, “Hari ini jadwal kamu cek-up juga kan?” Tanya Arkan.
Aira mengangguk.
“Aku nggak sabar banget, nanti kita bisa lihat adek perempuan atau laki-laki. Pulang dari kampus nanti aku jemput, ya."
Aira pun tersenyum. Ia sama tidak sabarnya.
(。・//ε//・。)
“Assalamu’alaikum, Hubby!” Ucap Aira, masuk ke mobil dengan semangat.
Aira meraih tangan Arkan dan mencium punggung tangannya, pun Arkan mengecup kening dan kedua pipi Aira.
Aira melihat sekitar, merasa aman, dengan gerakan cepat ia mengecup singkat bibir Arkan. Lalu Arkan malah membalasnya berkali-kali.
Aira terkekeh geli, “Hubby.. udah!” Ia memeluk Arkan untuk menghentikan aksi sang suami.
Aira mendongak dengan senyum ceria yang selalu menghiasi harinya. Arkan mengecup kening Aira lagi.
Rasanya Aira tak ingin melepaskan diri.
“A-aw..” Aira melepaskan diri dari pelukan Arkan, memegangi perutnya sambil meringis.
“Humaira, ada apa? Apa yang sakit? Perut kamu kram?” Arkan begitu panik, ia memegang kedua pundak Aira yang masih menunduk dengan wajah bingung dan kesakitan.
“K-kayaknya.. tadi adek nendang. Sebentar.” Aira lantas membuka korsetnya dari luar tunik yang ia pakai, rasanya begitu sesak walaupun Aira memakainya tidak terlalu terik--- karena perut Aira juga memang belum sebesar itu, tetapi Aira memakainya untuk mewaspadai beberapa hal, terutama pada sedikit kecurigaan pun.
Sebenarnya pun Aira tidak tega untuk memakai korset, takut menyakiti bayinya. Namun, Aira tidak ingin mendapat komentar buruk dengan kehamilannya yang tiba-tiba, meski ia bisa saja beralasan bisa hamil karena sudah punya suami, tapi Aira tidak ingin berbohong pada banyak orang, pun pernikahannya yang diam-diam dan mendadak pasti akan menimbulkan banyak opini buruk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Kanaira (On Going)
RomanceBagaimana kalian menghadapi semua hal baru yang tiba-tiba datang tanpa persiapan dan diluar kehendak kalian? Siapa yang tahu takdir, setelah menghadapi hal besar yang membuatnya hancur ia dipaksakan menikah dengan orang baru yang bahkan ia tidak ken...