Setelah dua hari berlalu, rencananya mereka akan pulang agak siang di hari ketiga liburan mereka, namun karena Zaid menelpon--- mengatakan jika ada meeting penting yang dimajukan pagi ini ---membuat mereka pulang lebih awal.
"Katanya penting, tapi sempat-sempatnya masak, Om. Gue bisa pesen kok ntar." Aira pada akhirnya menyusul Arkan ke dapur--- padahal mereka baru sampai, namun Arkan sudah pergi memasak di dapur.
"Gapapa, masih sempat, nggak lama kok." Jawab Arkan tanpa menoleh, "Kamu istirahat saja, Ra."
Aira pergi ke kamarnya, menuju walk in closet dan mencari pakaian Arkan yang ada di sana. Ia memilah setelan jas yang sekiranya cocok untuk Arkan pakai hari ini dan kembali turun.
Arkan masih memasak, sibuk bertelponan dengan Zaid.
"Iya, saya tau perusahaan sangat bergantung dengan meeting kali ini. Makanya saya minta tolong kamu siapin semuanya. Tunggu saja, saya bakalan datang sebentar lagi." Ucap Arkan, santai namun terdesak. Ia memutuskan sambungan telpon begitu saja saat Zaid hendak protes.
Arkan melirik Aira yang merebut sepatulanya, "Tinggal dioseng aja kan? Gue lanjutin. Lo siap-siap aja. Jas sama perlengkapan lo di kamar yang sebelah kanan."
Arkan mengerjap, memutuskan sambungan telponnya, "Gue nggak capek kok. Abis ini juga bisa istirahat." Sela Aira sebelum Arkan buka mulut.
"Ya sudah, 10 menit lagi matikan saja kompornya. Hati-hati, ya."
Arkan pergi. Meninggalkan Aira sendiri menyelesaikan masakan Arkan, namun Aira yang tengah serius malah dikejutkan dengan kehadiran Arkan lagi tak berselang lama.
Cup!
Ditambah lagi kemunculannya dengan tindakan yang tak terduga itu.
"Terima kasih, Humaira." Arkan mengulas senyum menatap Aira dan kembali pergi bersiap.
Aira masih membeku di tempat. Jantungnya berpacu cepat hingga semburat merah muncul di kedua pipinya.
Perlahan ia membuang napas yang tadi tanpa sengaja ia tahan, Aira memegang pipi kanannya yang tadi dikecup oleh Arkan, mendongak dan berteriak tertahankan.
"Lama-lama gue bisa mati dekat ntu om-om." Aira melihat sekitarnya dengan waspada, setelah melihat sekitarnya aman Aira tak menahan senyumnya yang seakan tidak akan luntur.
*
Dengan setelan jas yang sudah Aira siapkan Arkan turun, berpamitan dengan Aira yang juga selesai menjaga masakan Arkan.
"Nanti jangan lupa makan siang, terus minum susunya." Ucap Arkan, diangguki Aira yang mencium punggung tangan Arkan. Aira bahkan mengantar Arkan hingga ke depan--- kata Aira mungkin ini adalah kemauan anaknya.
Arkan mengecup kening Aira, "Aku pamit, ya, Humaira."
"Hm."
"Mungkin pulangnya agak sedikit lambat, tapi aku bakal usahakan supaya bisa langsung pulang begitu pekerjaan aku selesai. Nanti aku langsung jemput kamu makan malam sebentar, abis itu kita jenguk adiknya Zaki-Kia. Tapi, kalau misalnya kamu mau makan dulu juga gapapa, kamu bisa delivery. Oke?"
Aira mengangguk.
Arkan berjongkok di hadapan Aira, tepat di depan perut Aira, "Nak, Abba kerja dulu, ya, kamu di rumah sama Umma, jagain Umma-nya jangan sampai nakal."
Aira mengerucut.
"Kamu mau Abba beliin apa nanti?"
"Es krim." Aira menjawab, suaranya dikecilkan menyerupai suara anak kecil.
"Oke. Abba pamit, ya, assalamu'alaikum!" Arkan mencium perut Aira, Aira mengulum senyum lebar yang tertahankan.
Arkan kembali berdiri, ia bisa melihat mata Aira yang berkaca meski ia tersenyum. Aira masih merasa terharu jika sudah menyangkut janin yang ada di perutnya dan Arkan yang begitu menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Kanaira (On Going)
Romance[Ringankan untuk follow sebelum baca yaw-!] Bagaimana kalian menghadapi semua hal baru yang tiba-tiba datang tanpa persiapan dan diluar kehendak kalian? Siapa yang tahu takdir, setelah menghadapi hal besar yang membuatnya hancur ia dipaksakan menika...