18) Jadi ...

115 50 35
                                    

"Hubby!"

"Hubby!" Aira sampai di dapur, mendapati Arkan yang sedang memasak. Lantas ia segera mendekat, berjinjit, dan ...

"Kenapa, Humai-"

Cup!

Arkan mengerjap, mengatup bibirnya yang sedikit terbuka. Ia terdiam melihat Aira yang kini tersenyum lebar tanpa dosa, "Makasih udah nyelesain tugas aku, bahkan direvisi juga."

Perlahan senyum Aira memudar melihat tak ada respon dari Arkan. Wajahnya datar.

"Begitu cara kamu berterima kasih?" Arkan menunjuk bibirnya dengan sebelah alis yang naik.

Aira mengerjap. Ia salah bersikap kah?

"Kamu tahu kan aku begadang semalaman ngerjain tugas kamu?" Arkan jadi menyeramkan, wajahnya datar, mungkin seperti ini yang dimaksud Mawar.

Aira mengulum bibirnya. Melihat sikap Arkan pagi ini malah membuatnya kecewa berkali-kali lipat, "Iya, makanya aku bilang makasih."

"Terus ciuman barusan?"

"Maaf." Aira menunduk dengan bibir yang mengerucut.

"Kurang, Humaira." Arkan mematikan kompor.

"Hah, kurang ap-"

Rasanya jantung Aira ingin copot.

Kiranya Arkan akan marah, tapi malah ketagihan. Hihixx

"Kenapa ketakutan gitu mukanya?" Arkan terkekeh.

"Kamu serem, ih! Aku kira kamu marah beneran loh!"

"Kenapa aku harus marah sama istri yang cantik yang gemesin kayak kamu, hm?"

Pipi Aira bersemu, matanya mencari benda-benda lain untuk ia pandangi selain Arkan yang tak bosan terus-terusan menatapnya, "Ya ... mungkin karena cuma bilang makasih tanpa ngasih imbalan yang setimpal. Padahal kamu udah aku repotin terus, tapi aku cuma kasih yang tadi aja."

"Humaira.." Arkan memanggil Aira dengan lembut, "Sudah aku bilang berkali-kali kan, kamu nggak ngerepotin. Selagi aku bisa bantuin kamu, aku pasti bantuin kamu. Dan imbalan kamu malah lebih dari sekedar imbalan. Aku suka."

Aira mengulum senyum, ia menunduk, menunjukkan kepalanya ke dada Arkan demi menyembunyikan ronanya yang menjadi-jadi oleh ulah Arkan, "Jangan gitu deh. Anak aku jadi pengen peluk kamu nihh." Ucapnya, beralasan, tangannya sudah berada di bawah tangan Arkan, memeluk pinggang Arkan.

"Kamu udah baik banget sama aku, sama anak aku. Anak aku kayaknya sayang sama kamu." Arkan terkekeh dan membalas pelukan Aira.

"Aku juga sayang kalian."

Aira tersenyum, selalu merasa nyaman bersama Arkan. Untuk sesaat keduanya menikmati pelukan itu sampai Aira mengakhirinya karena mengingat waktu yang terus berputar.

Aira mengulum senyum melihat senyum manis dan tatapan lembut Arkan padanya.

"Hubby. Kamu jangan terlalu galak loh di kantor. Boleh cuek, tapi jangan lupa senyum, tapi dikit aja deh nggak usah banyak-banyak. Sumpah, ya, kamu nyeremin banget mukanya datar kayak kemarin ataupun tadi. Aku kira kamu beneran marah, padahal emang muka kamu yang nyeremin."

Arkan terkekeh, "Mawar yang bilang ke kamu, ya?"

Aira mengerjap, "Ih, orang aku liat sendiri." Elaknya, yang memang benar adanya juga, "Senyum, ya. Sapa kek. Kasian mereka ketakutan kayak gitu. Dikit aja tapi, jangan basa-basi nggak jelas juga, sapa aja buat formalitas."

"Iya-iya." Arkan mengangguk-angguk, "Insya Allah."

(⁠。⁠・⁠/⁠/⁠ε⁠/⁠/⁠・⁠。⁠)

Hai Kanaira (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang