Pemakaman Solar di lakukan keesokan harinya.
Semuanya berjalan dengan lancar, walau ada sedikit kendala karena Mara yang masih tak menerima kematian anaknya sendiri.
Kini jasad Solar tengah di masukkan ke dalam liang lahat, ketika prosesi itu terjadi Mara masih menangis histeris di pelukan Gempa.
"Jangan....ku mohon jangan kubur anakku, dia masih hidup, anakku tak mungkin meninggalkan ku secepat ini..." tangis Mara histeris, Gempa yang tengah memeluknya turut meneteskan air mata.
Dia merengkuh tubuh sang Ibu dari samping, mengusap-usap bahu milik Mara dengan lembut.
"Ikhlaskan Ma, ikhlaskan ya. Solar sudah pergi Ma, biarkan dia pergi dengan tenang. Setidaknya Solar tidak perlu merasakan sakit lagi, dia sudah bahagia Ma, jadi Gempa mohon ikhlaskan. Solar bisa tidak tenang jika Mama terus menangis dan tidak mengikhlaskan kepergiannya." gumam Gempa- memberi pengertian pada sang Ibu, walau sejujurnya dia sendiri tak kuat untuk menahan rasa sedih atas kepergian adiknya.
"Tidak mau Gempa....Mama tidak mau Solar pergi...selama ini Mama belum menjadi Ibu yang baik untuknya, tapi kenapa, kenapa, kenapa Solar harus pergi Gempa, Mama masih ingin memeluknya, Mama masih ingin untuk dapat melihatnya. Harusnya Mama yang pergi duluan dari kalian, tapi mengapa harus anak bungsu Mama yang pergi duluan..." tangisnya sesegukkan.
"Ma, ini semua takdir, semua manusia yang hidup di muka bumi ini akan kembali ke tempat asalnya, yaitu di tanah, semua yang ada di dunia ini hanya titipan sementara Ma. Semua akan kembali ke atas sana, begitu juga Solar. Maka dari itu Mama tolong ikhlaskan Solar, setidaknya biarkan adik Gempa bisa pergi dengan tenang Ma." ujar Gempa sambil mengeratkan pelukannya.
Mara membenamkan wajahnya di lengan sang anak, dia menginggit kuat bibirnya, tak bisa menahan rasa sesak yang menyelimuti hatinya.
Hingga akhirnya jasad Solar benar-benar sudah terkubur di dalam tanah.
Amato mengajak agar seluruh keluarganya mendekat, menaburkan bunga di atas makam Solar.
Tidak ada yang bisa menahan air mata mereka ketika menyadari bahwa mereka sudah benar-benar di tinggalkan oleh Solar selamanya.
Thorn sedari tadi tidak bisa menghentikan tangisannya, bahkan ketika dia masih di rumah air matanya terus mengalir, tak mau berhenti.
Taufan sudah merangkul bahu Thorn, menguatkan sang adik, namun manik safirnya menatap sendu pada makam milik adik bungsunya.
Yang telah berpulang tepat sehari sebelum ulang tahun mereka, setelah ini menjelang hari ulang tahun mereka hanya akan tersisa kesedihan saja. Satu jiwa di antara tujuh orang itu telah berpulang untuk selama-lamanya, menyisakan ruang kekosongan di hati masing-masing mereka yang lain.
Beberapa pelayat sudah berjalan pulang, meninggalkan anggota keluarga Solar bersama dengan Beliung dan saudara-saudaranya yang lain.
Mereka bertujuh hanya menatap dalam diam ke arah sembilan orang yang masih dilanda kesedihan yang begitu mendalam.
Langit kini mulai menggelap, pertanda hujan akan turun sebentar lagi, namun tidak ada tanda-tanda dari anggota keluarga Solar yang ingin segera pulang. Mereka masih tetap berada di tempat, seolah kaki mereka terpaku di sana. Tak ingin beranjak sedikitpun.
"Hujan sedikit lagi bakalan turun." ujar Blizzard sambil mendongak kan kepalanya, menatap langit mendung di atas sana.
"Apa mereka akan tetap berada di sini hingga hujan turun, aku tahu mereka masih merasa kehilangan. Akan tetapi bukankah tidak baik jika mereka terus di sini ketika hujan turun." balas Rimba memandang anggota keluarga Solar dengan khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do I Have The Right To Be Happy? [ End ]
FanfictionKisah tentang kehidupan Solar yang selalu di acuhkan dan tidak di anggap oleh keluarganya. "Kalianlah yang sudah membunuh jiwaku secara perlahan, selamat kalian telah berhasil membuatku menyerah. Karena aku sudah terlalu lelah akan segalanya." Boboi...