24. BLOOM

58 14 4
                                    

Suara tawa kedua remaja itu mengudara bersama dengan hawa dingin malam yang menyejukkan. Steven mengeratkan jarinya yang bertaut dengan Adelia, merasakan hangat hadir diantara udara dingin yang menyelimuti. Steven dengan seksama mendengarkan cerita bahagia Adelia yang diterima di universitas dan prodi impiannya, menanti hari perayaan kelulusan dan meninggalkan sekolah. Sudut bibirnya terangkat sempurna melihat tawa ceria Adelia yang akan ia rindukan. Ya.

"Besok pagi gue mau matcha latte lagi."ujar Adelia pada Steven.

Steven masih ingat kalau ia masih berhutang minuman manis berwarna hijau itu pada Adelia, setidaknya empat tahun kedepan. Steven tidak mungkin lupa.

"Gampang lah itu."ujarnya sedikit ragu.

Ragu kalau ia tetap bisa melihat Adelia yang tertawa ceria menikmati matcha latte yang ia belikan. Adelia tidak tahu kalau hari ini adalah malam terakhir mereka bisa bertemu, besok pagi Steven sudah tidak disini, ia harus pergi sesuai kesepakatannya dengan Gibran, tidak boleh ada yang tahu ini sama sekali, satu pun tidak boleh.

Kedua remaja itu menyusuri taman di dekat kedai kopi tempatnya membeli matcha latte, itu adalah kedai langganan mereka terutama untuk Steven membayar janjinya pada Adelia.

Adelia bergelung dengan pikirannya sendiri, ia ingin mengungkapkan perasaannya yang sejujurnya pada Steven tapi entah kenapa dirinya takut, ia gugup, malu. Tapi ia benar-benar ingin mengungkapkan dengan jujur tapi itu sangat sulit, akhirnya ia mengerti kenapa Steven mengatakan tidak mungkin bisa berbohong saat mengungkapkan kalau diantara mereka sudah jatuh hati.

"Gue rasa udah pernah bilang ini, tapi gue mau bilang lagi."

Adelia mengalihkan pandangannya penuh kepada Steven, menunggu laki-laki itu melanjutkan kalimatnya. Sedangkan yang ia tunggu malah menarik kedua tangannya dan menempelkan satu telapak tangan kecil Adelia pada pipi laki-laki itu sehingga Steven sedikit menunduk dan mendekat pada wajah gadisnya.

"I love you, my little sugarplum. Do you?"

Mata gadis itu berkaca kaca, entah mungkin karena itu juga ia melihat mata Steven seolah berkaca kaca, menahan tangis seperti dirinya.

"Jawab gue Li."pinta Steven pelan.

Adelia memejamkan matanya dan mengangguk, "I love you more."

Tanpa melepaskan telapak tangan Adelia yang menempel di pipinya, Steven menarik tengkuk Adelia dan mencium bibir kecil itu, hanya kecupan ringan beberapa detik sebelum akhirnya tangan Adelia dengan otomatis melingkar pada leher Steven, Adelia membiarkan Steven menciumnya, membiarkan gelenyar asing terus berdatangan pada hatinya.

"Steve—"

Ucapan Adelia terhenti karena tiba-tiba Steven mengecup keningnya setelah menciumnya tadi. Si sulung Dikta menempelkan dahinya dengan milik Putri Ardana sembari memejamkan matanya.

"Cinta tumbuh karena terbiasa, jangan jatuh cinta lagi selain sama gue Adelia Janine Ardana, please."

Adelia tersenyum kecil dan memeluk laki-laki yang notabennya adalah pacarnya. "Kenapa gue harus nyari yang lain kalau gue udah punya lo."

Steven tersenyum dan mengeratkan pelukan mereka. Ia harap ini bisa bertahan sedikit lebih lama.

......

"Kamu sudah siap za?"tanya Gibran.

Steven menghela nafasnya lalu mengangguk mantap, ia tidak boleh terlihat sedih di depan ibunya.

"Mami, maafin Eza."

"Kamu gak perlu minta maaf."

Mami Lisa memeluk putra kesayangannya dengan erat dan berbisik, "Buktikan ke Papi kalau kamu bisa sukses di jalan kamu sendiri."

Bloom Bloom || SooliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang