"Dia itu hancur, Jian" ucap Kairina saat kita berdua kembali bertemu di sore hari.
"Hancur??" tanya gue enggak mengerti arah pembicaraannya
"Iya, Zenjiro itu hancur. Aku baru tau dia diusir sama keluarganya sendiri karena dianggap aib, jadi dia tinggal sendiri"
"Hah?? Itu keluarga macem apaan??"
"Aku juga enggak ngerti, tapi aku ngerasain sakit. Aku kasian banget sama anak itu, bahkan di saat kayak gini aja dia masih bisa senyum di atas semua penderitaan yang dia terima, itu bikin aku ngerasa lebih sakit"
"Jahat banget, aku gak pernah tau bahkan gak pernah bisa ngebayangin kalo keluarga kita jadi musuh kita sendiri"
"Iya, aku kira aku udah jadi orang paling menderita pas papa ninggalin aku sama mama dari kecil, tapi ternyata ada yang nasibnya lebih jelek daripada aku"
Gue menggangguk kecil dan mengusap kepala Kai, gue tentu tau apa yang udah terjadi ke Kai dari kecil. Kairina, cewek yang udah menjadi pacar gue dari kita kelas 11 SMA sampai sekarang ada di semester 5 perguruan tinggi. Cewek yang mengubah pandangan gue terhadap dunia, membuat gue sadar kalau hidup enggak semulus itu untuk semua orang.
"Makanya, itu kenapa kita gak boleh ngerasa kalo kita itu yang paling menderita"
"Iya, aku belajar banyak banget dari anak itu"
Gue masih setia mengusap kepala Kairina yang sekarang meletakkan kepalanya di pundak gue dan mulai memejamkan matanya.
"Ini kali ya yang dirasain Zen??"
"Maksudnya??"
"Tangan kamu anget, aku ngerasa damai banget. Apa Zen juga ngerasain yang sama ya kalo aku ngusap kepala dia??"
"Semoga aja, setidaknya dia harus ngerasain kehangatan sedikit"
"Ngomong-ngomong kamu gak marah??"
"Marah karena??"
"Akhir-akhir ini waktuku abis bareng Zen, aku jadi gak punya waktu buat bareng sama kamu"
"Oh itu, enggak juga sih. Aku ngehargain niat kamu buat bantu dia, lagian kita juga masih sempet bareng kayak sekarang"
"Makasih udah mau ngertiin aku, Jian"
"Apapun itu, Kai"
***
Gue, Jiantara Oliver Narendra dan orang-orang memanggil gue Jian, termasuk keluarga gue. Gue anak tunggal dari Januar Narendra, seorang yang tentu cukup dikenal di dunia perbisnisan. Keluarga gue memiliki beberapa perusahaan atas nama Narendra dan gue merupakan pewaris tunggal dari Narendra.
Karena sejak kecil udah dimanjain dengan ini itu, gue memandang dunia berbeda dari orang lain. Gue merasa semua orang itu hidup seperti gue, semua orang pasti hidup enak seperti gue. Sekolah di sekolah internasional, bergaul dengan orang yang selevel dengan gue, dan tentunya, semua keinginan gue terpenuhi.
Gue punya segalanya, tapi ya tentu aja, hidup gue penuh dengan aturan yang harus gue penuhi
"Kamu harus berwibawa"
"Kamu gak boleh ngelakuin ini"
"Bertindaklah layaknya seorang calon pewaris tunggal"
"Jian inget, kamu ini pewaris tunggal Narendra. Kamu gak boleh bergaul sama yang levelnya di bawah kamu"
"Jian, kamu harus kuliah di bidang bisnis, kamu harus ngelanjutin perusahaan kita, Narendra"
Saat itu gue mulai merasa, kalau hidup jadi orang berada, orang yang memiliki jabatan itu tidak semenyenangkan itu. Gue mulai berpikir kalau lebih baik hidup sebagai orang seadanya, orang yang tidak memiliki jabatan tinggi, atau apapun.