16. Sebuah Alasan dan Keluarganya

55 6 1
                                    

"Kenapa kamu peduli banget sama Zenjiro??"

Gue terdiam seketika saat mendengar pertanyaan pacar gue, Kairina. Kenapa gue peduli banget sama Zenjiro?? Saat ditanya itu sama sepupu Zen tempo hari, gue bisa menjawab dengan mudahnya, tapi kenapa rasanya saat ini otak gue berputar untuk mencari alasan sebenarnya??

Gue menghela napas dan tersenyum ke arah Kai, membuatnya tampak bingung. Gue sendiri akhirnya mengarahkan pandangan gue ke depan, menatap tak minat pada poster di depan gue

"Kenapa nanya gitu??" 

"Aku cuma penasaran aja.. aku gak pernah liat kamu sepeduli itu sama orang lain selain aku sama keluargamu. Tapi tadi aku sadar, kamu bener-bener sepeduli itu sama Zen. Pas nyetir tadi, aku bisa liat tangan kamu gemeteran dan mata kamu juga gak fokus" 

Gue menghela napas lagi, emang gue gak pernah bisa menyembunyikan sesuatu dari Kairina. 

"Aku kangen Daviandra, Kai..." ucap gue lirih

"Jian..."

"Umur Zen itu mirip sama umurnya Andra. Entah kenapa, hari aku ngeliat Zen dibully, seketika ngingetin aku sama Andra. Aku waktu itu kakak yang buruk, kamu tau sendiri, Kai. Mungkin, aku peduli sama Zen karena aku gak mau ada Andra kedua..."

Daviandra Peter Narendra, adek semata wayang gue yang meninggal 7 tahun lalu, saat gue masih duduk di bangku SMP. Adik yang mungkin gak pernah gue peduliin presensinya, karena gue merasa bintang di hidup gue ya gue sendiri.

Saat itu gue meremehkan Josefano Arsene Xavier, tanpa sadar kalo gue juga sama aja kayak dia dulu. Gue yang gak pernah peduli dengan kehadiran orang lain, gue yang gak menemukan alasan untuk peduli dan dekat dengan adek gue itu

Andra itu anak yang sering sakit-sakitan, tubuhnya emang lemah dari kecil. Kepanasan dikit akan pingsan, capek sedikit juga pingsan, membuat gue merasa kalo dia itu beban. Sampai akhirnya hari itu datang, hari di mana gue pulang dari sekolah dan menemukan adek gue terkapar lemas di kamarnya. Gue yang panik setengah mati langsung menghubungi mama dan papa, tapi terlambat, Andra udah gak ada

Adek gue saat itu terserang asma parah dadakan yang dimana sampai sekarang gue gak percaya, anak sekecil itu harus menahan sakit yang begitu menyiksa. Nyatanya, hari itu, Andra dibully teman sekelasnya sampai yang membuat asmanya kambuh dan dia mati-matian untuk pulang, mengambil inhalernya, tapi terlambat, belum sempat Andra mengambil inhaler, napasnya semakin memendek. Mungkin kematian Andra bukan salah gue, tapi rasanya tetap menyakitkan. Seandainya gue bisa memperhatikannya sedikit, menghabiskan waktu bersamanya, dan seandainya gue tau Andra dibully, mungkin dia masih ada di sini

"Aku gak bisa jadi kakak yang baik buat Andra, aku bahkan kakak yang buruk. Tapi hari aku ngeliat Zen dibully waktu itu, tanpa sadar aku langsung bergerak buat ngelindungin Zen karena aku inget sama kepergian Andra"

"Rasanya, aku mau nyelamatin Zen, Kai.. Meski Zen bukan adikku, aku udah ngerasa dia kayak adekku sendiri. Aku mau nebus kesalahanku dan setidaknya, Andra bisa liat kalo kakaknya udah menjadi orang yang lebih baik"

"Pas ngeliat Zen gak sadar tadi, kamu liat aku panik banget kan?? Aku juga takut Kai, aku takut aku gagal untuk kedua kalinya"

Nyatanya, pertahanan yang gue bangun setinggi mungkin akhirnya runtuh juga, air mata terjun begitu aja dari mata gue tanpa permisi. Kairina langsung memeluk gue, dan mengucapkan beberapa kalimat penenang

"Kamu gak gagal Jian, justru karna kamu, Zen masih ada di sini"

"Andra pasti bangga sama kakaknya karna bisa melindungi orang lain"

"Kita sama-sama berjuang buat Zen ya, terlepas dia bahkan cuma anak yang baru kita kenal"

***

"Menurutmu, kita harus kasih tau keluarga Zen gak??" tanya Kai, saat ini kita ada di ruang rawat inap Zen. Zen sendiri baru dipindahkan ke kamar ini setelah sebelumnya ada di IGD.

"Keluarga?? Kai, justru mereka kan yang bikin Zen masuk ke sini??" ucap gue sarkas. Tapi tiba-tiba otak gue terbesit satu nama, ya mungkin dia masih bisa sedikit menujukkan kepedulian, ya semoga juga Zen punya kontak dia

Gue segera mengambil handphone Zen dan mencari satu nama

Arsene

Gue langsung menelfon nomor itu dan tidak lama, telfon itu diangkat oleh seseorang

"Lo tuh mikir apa sih?? Lo aja gak bisa ngomong, ngapain ne-"

"Ini gue, Jiantara"

"Lo? Kenapa handphone Zen ada di lo??"

"Sepupu lo di rumah sakit"

"Hah?? Lo jangan bercanda, baru beberapa jam lalu gue ketemu Zenjiro, dia masih baik-baik aja"

"Nyatanya sekarang sepupu lo saat ini terbaring gak sadar karna percobaan bunuh diri"

"Ck, si sinting itu. Dimana??"

"Gue sharelock ke lo, gue harap setidaknya lo masih punya belas kasih dibandingin sama keluarga lo yang lain ke Zen"

"Jangan merintah gue, lo gak punya hak"

"Ck, terserah"

Gue langsung mematikan sambungannya dan mengirim lokasi Zen saat ini ke bocah itu. Josefano Arsene Xavier, bocah yang gue liat 2 hari lalu. Meski dia terlihat sama kayak sepupu dan om gilanya itu, gue juga bisa merasakan kalo dia sedikit berbeda.

"Kamu ngehubungin siapa, Jian??"

"Kamu inget bocah yang aku bilang itu kan?? Bocah yang saat itu cuma ngeliat Zen disakitin papanya"

"Ah, anak itu.. kenapa kamu ngehubungin dia?"

"Karna dia keluarganya Zen dan aku ngerasa.. anak ini agak berbeda. Dia masih nunjukin sedikit kepedulian ke Zen, beda dari kakak dan papanya Zen sendiri"

"Kamu yakin??" 

Gue menghela napas kecil, dibilang yakin sekali juga enggak. Tapi setidaknya, gue pengen liat ada satu aja sosok keluarga Zen yang peduli sama dia selain kakeknya

"Aku gak yakin, tapi aku harap dia peduli" 

Kai mengangguk dan kembali menatap Zen yang terbaring lemas dengan infus yang terpasang di tangannya serta selang oksigen di hidungnya. Wajahnya itu terlihat sangat damai, kayak dia lagi tidur dengan sangat nyenyak, tanpa tau kalau di sini gue dan Kai menunggu dengan gelisah, takut kalau dia gak mau bangun sama sekali. 

"Menurutmu, apa yang bakal kakeknya Zen tau kalo cucunya diperlakuin sampe kayak gini??" tanya gue ke Jian tiba-tiba karena teringat sosok kakek anak ini. Gue ingat sekali, malam itu kakeknya benar-benar memancarkan aura penuh kasih sayang ke anak ini, membuat gue tau kalau ternyata ada sosok yang benar-benar mengharapkan kehadiran Zen di keluarganya 

"Entahlah?? Marah mungkin? Aku mau nolong dia, tapi aku gak berani ikut campur masalah keluar besar Zen" 

"Kamu bener, bisa jadi masalah kalo kita ikut campur"

BRAKK

Gue dan Kai langsung menoleh karna pintu tiba-tiba saja dibanting, menampakan sosok Josefano Arsene Xavier dengan nafas memburu, yang membuat gue tau kalau dia habis berlari-lari 

"Brengsek, Zenjiro Xavier!" 

TBC

Halo semua!! Maaf aku ngilang beberapa minggu soalnya lagi hectic banget hehe. Aku kembali lagi dengan chapter baru dari POV Jian. Jadi Jian tuh juga punya alesan ya gais, kenapa dia sepeduli itu sama Zen. Dari sosok Jian ini, aku mau menyampaikan kalo sekuat apapun orang keliatannya, dia pasti nyimpen lukanya sendiri. Bahkan, luka yang dia dapet sebelumnya itulah yang membuat sosoknya menjadi lebih baik daripada sebelumnya. 

So, jangan lupa vote and comment, see you on the next chapter!! 

Imperfect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang