Tepat 30 menit setelah Arsene pergi, bel pintu apartku kembali berbunyi seperti kesetanan. Aku dengan sisa tenaga langsung bangkit dan membuka pintu. Baru aja pintunya terbuka, seseorang langsung mendorongku masuk dan..
PLAK
Butuh sekian detik untukku menyadari semuanya. Saat papa tiba-tiba masuk dan langsung menamparku disertai dengan tatapan penuh kebenciaannya seperti biasa. Aku hanya terdiam menatapnya, enggak bisa melakukan apa-apa.
"Kenapa Josefano bisa tau kamu ada di sini?!"
"Kamu mau ngebuat dia lapor ke kakekmu itu trus buat kami habis di tangan dia?!"
"Kamu ini emang anak yang gak tau diuntung ya?!"
Aku hanya menggeleng, aku sendiri juga enggak tau kenapa Arsene bisa tau aku di sini. Tapi tentu aja, papa gak akan membiarkan aku gitu aja, atau bahkan gak peduli apapun alasan yang ada
PLAKK
PLAKK
BUGG
Aku bisa merasakan kepalaku menghantam salah satu sisi meja di dekat sini. Sakit, ini sakit sekali. Dan benar aja, saat aku memegang kepalaku, ada darah yang mengalir dari sana. Tapi layaknya enggak ada rasa kasihan, papa langsung menarikku untuk bangkit dan menamparku lagi.
"Dari awal kamu emang gak pantes buat hidup!!"
"Kenapa kamu gak mati aja dari awal, Zen?!"
Mati ya, aku juga mau mati sejak dulu pa. Tapi Tuhan juga enggak membiarkan aku pergi gitu aja, kapan aku boleh hidup tenang di dunia ini??
"Jangan pernah kamu mikir kalo kakekmu tau, dia bakal ngebantu kamu. Kamu itu gak berarti buat kakekmu, kamu pikir dia liat kamu kayak gini pun, dia bakal peduli? Enggak Zen, sadarlah, gak ada yang pernah menginginkan kamu di sini!!"
"Inget, kalo kamu berani lapor ke kakek atau minta bantuan Josefano, saya gak akan segan-segan menghancurkan Josefano saat itu juga"
Aku menggeleng, aku bahkan gak pernah sekalipun berpikir buat minta bantuan Arsene. Bahkan jika aku minta bantuan dia pun, Arsene pasti gak akan mau membantu aku juga.
"Jangan pernah berani macem-macem, Zen. Tujuan saya hanya satu, membuat Vero menjadi ahli waris perusahaan kakekmu. Saya gak akan segan-segan menghancurkan siapapun demi itu, termasuk kamu"
Tiba-tiba aja, papa mencekek leherku, membuatku terkejut dan berusaha berontak. Selama ini papa gak pernah sampai mencekekku, dimana aku sadar kalau kali ini kemarahannya udah ada di tingkat yang berbeda
"Mati!! Kamu harusnya mati!!"
Aku memohon-mohon kepada papa untuk melepaskan cekikannya karna aku udah mulai sesak napas
BRUKK
Lagi lagi, papa mendorongku yang udah gak punya tenaga sampai wajahku menghantam sisi meja yang sama yang tadi menghantam kepalaku. Akibatnya, aku bisa merasakan darah segar mengalir dari hidungku disertai dengan leherku yang kesakitan. Tanpa rasa peduli, papa langsung pergi begitu aja setelah berhasil menghancurkan aku untuk kesekian kalinya.
Kepalaku sakit dan aku rasa aku mulai mengantuk. Zen, jangan tidur sekarang, Zen. Kamu gak boleh tidur sekarang.
Tapi badanku rasanya gak bisa diajak kerja sama, pelan-pelan aku merasa mataku semakin memberat
***
Mataku perlahan terbuka, ahh, ternyata aku masih di sini, di lantai ruang tamu apartku yang kecil. Aku memegang kepalaku, darahnya udah mengering. Tiba-tiba aja, air mata mengalir dari mataku dan itu semakin deras seiring isakan juga keluar dari mulutku. Sakit, ini sakit sekali!
Kenapa gak ada yang nolong aku??
Kenapa gak ada yang peduli sama aku di sini?!
Aku capek, aku takut, aku gak mau kayak gini lagi. Tuhan, apa kali ini aku boleh menyerah?? Aku mau istirahat dengan tenang. Seperti kata papa kan, kenapa aku gak mati aja dari awal.
Tanganku langsung menggapai vas bunga yang ada di dekat sana dan memecahkannya. Aku mengambil pecahan yang besar dan tanpa ragu, aku langsung menggores pergelangan tanganku dengan kuat, membuat darah segar kembali mengalir deras
Perlahan, aku merasa kesadaranku mulai menghilang dan mataku memberat lagi. Tapi sebelum aku benar-benar memejamkan mata, aku melihat pintu apartku terbuka paksa dan muncul 2 sosok yang langsung berlari panik ke arahku. Aku bisa melihat mereka berteriak, tapi aku gak bisa mendengar apa-apa. Ah, sepertinya alat bantu dengarku udah lepas entah kemana
Kak Kai..
Kak Jian..
Kenapa kalian datang di saat aku udah gak ada keinginan untuk hidup? Kenapa kalian enggak mengabaikanku seperti orang lain?? Maaf, tapi aku udah gak mau di sini lagi kak..
***
Di hadapanku saat ini, terbentang taman bunga yang amat luas, sampai aku sendiri gak bisa melihat ujung dari taman ini. Indah, terlalu indah untuk menjadi nyata. Apa ini akhirat?? Apa aku udah benar-benar mati?? Atau ini cuma mimpi? Kalau ini emang mimpi, aku berharap aku gak akan bangun sama sekali
"Zen..."
Aku menoleh dan mendapati seorang wanita tua yang enggak aku kenal, tapi wajahnya terlihat sangat familiar. Sampai akhirnya aku sadar, itu nenek, wanita yang fotonya terpajang begitu besar di rumah kakek. Sosok yang amat dicintai kakek, bahkan aku dengar saat kematiannya, kakek sampai terpuruk selama beberapa waktu.
Nenek merentangkan tangannya dan entah kenapa, aku langsung berlari dan masuk ke pelukannya. Hangat, rasanya hangat sekali, rasanya seperti pelukan kakek
"Zen, kenapa kamu ada di sini??"
Nyatanya, aku enggak bisa menjawab, hanya bisa mendengarnya yang bahkan aku sendiri tidak tau kenapa. Aku hanya bisa mengangguk, menandakan bahwa aku senang ada di sini
"Zen gak boleh di sini, tempatmu bukan di sini"
Aku segera menggeleng, tanda enggak setuju dengan perkataan nenek barusan. Aku suka di sini, aku gak mau pergi dari sini
"Zen kembali ke tempatmu ya? Masih banyak yang sayang sama kamu"
Lagi lagi aku menggeleng, enggak, gak ada yang sama aku di dunia itu. Aku gak bisa kembali ke sana lagi, aku takut, aku gak suka tatapan orang-orang ke aku
"Zen, sayang, pulang ya?"
Aku menggeleng lagi, udah aku bilang aku gak akan kembali.
"Zen, nenek minta tolong lho. Kakek kamu tuh sayang banget sama kamu. Nenek gak bisa membayangkan gimana perasaan kakek saat tau kamu seperti ini"
Perlahan aku menatap ke arah nenek, perasaan kakek??
"Kakek tuh butuh Zen, kakek setiap hari mikirin Zen lho. Zen itu cucu kesayangannya kakek terlepas dari kekurangannya Zen. Jadi nenek minta tolong ya? Tolong temenin kakek demi nenek?"
"Enggak harus sekarang kok pulangnya. Zen boleh di sini sebentar sama nenek, tapi jangan lama-lama ya??"
Dengan berat hati, aku akhirnya menggangguk. Demi kakek, semuanya demi kakek. Satu-satunya sosok keluarga yang sayang sama aku
TBC
Halo, aku update lagi nih! Tapi mungkin chapter ini agak drama, tapi ada pesan yang mau aku sampaiin di chapter ini.
Semua orang itu punya limit mereka masing-masing, meski terlihat udah biasa, tapi kita gak pernah tau apa yang mereka rasain. Zen itu mungkin terlihat lemah, tapi justru sebenernya dia yang paling kuat di sini. Dan nyatanya, hal yang Zen butuhkan tuh cuma 1, dia cuma butuh pelukan kasih sayang dari siapapun, bukan malah pukulan ato caci maki.
Selain itu, ingat kalau mulutmu itu harimaumu, jangan seenaknya berbicara ke orang lain. Mungkin kamu menganggap omonganmu itu sepele, tapi belum tentu bagi yang mendengar itu nganggep sepele kayak Zen yang menganggap ucapan papanya untuk mati itu serius.
Udah sih itu aja pesan dari aku, semoga pesannya bisa sampai ke kalian. Jangan lupa vote and comment, see you on next chapter!!