Aku membuka mataku, melihat taman bunga yang pernah aku temui saat itu. Aku kembali tersenyum dan berlari menikmati suasana yang begitu menenangkan. Tapi tiba-tiba saja, aku melihat ada sosok lain di sana, aku langsung berlari menghampirinya, mengira itu adalah sosok nenek.
Tapi ternyata aku salah, itu aku, itu Zenjiro Xavier yang masih kecil. Aku hanya bisa menatap penuh kebingungan dengan sosok anak kecil yang sedang terduduk dan menangis itu. Tanpa sadar, aku menghampiri dan memeluknya, memeluk sosok diriku sendiri itu
Anak kecil itu mendongak dan menatapku dengan penuh ketakutan dan wajah yang penuh air mata.
"Kakak siapa??"
"Aku itu kamu, di masa depan"
"Kamu Zenjiro Xavier??"
"Iya, aku Zenjiro. Kamu kenapa nangis??"
"Semuanya benci aku, gak ada yang menginginkan aku di dunia ini"
Aku hanya tersenyum getir, ternyata melihat aku sendiri yang seperti itu terasa sangat menyedihkan. Ternyata ini yang dilihat orang-orang, tapi mereka enggak sedikitpun merasa kasihan padaku
"Apa di masa depan, aku tetap akan seperti ini??"
"Enggak, di masa depan, ada orang-orang yang mulai menyadari keberadaan kita. Namanya kak Jian sama kak Kai. Mereka sayang banget sama kita, mereka selalu jadi orang terdepan yang melindungi kita"
"Benar?? Lalu bagaimana rasanya dicintai??"
"Itu menyenangkan, tapi ada rasa takut juga. Takut kalau kembali disakiti"
"Lalu lalu, papa mama bagaimana?? Apa mereka akhirnya menyayangi kita??"
"Enggak, sayangnya mereka gak akan pernah menyayangi kita"
Anak kecil itu kembali terdiam dan air mata kembali mengalir deras sampai membuatku memeluknya dengan erat. Bagaimanapun, sosok Zenjiro Xavier kecil ini sangat haus akan kasih sayang orang tuanya.
Perlahan, aku merasa sosok di pelukanku menghilang dan tiba-tiba juga, aku sudah ada di tempat lain. Apa ini?? Ini kan rumah??
PRANGG
Aku menoleh ke sumber suara, saat itu rasanya aku benar-benar hancur. Di hadapanku sendiri, aku melihat sosok Zenjiro Xavier yang disakiti papa. Sosok yang hanya bisa meringkuk menahan sakit dan tangis, di sisi lain, kakak dan mama hanya menatap dengan pandangan datar, layaknya hal itu lazim
"Kamu itu gak berguna, bisanya cuma malu-maluin aja!!"
"Puas kamu liat saya diketawain karena punya anak yang cacat?!"
"Seharusnya sejak dulu memang kamu saya bunuh saja harusnya!!"
"Apa juga gunanya kamu di dunia ini?! Cuma buang-buang uang saja!"
Rasanya aku ingin berlari dan melindungi sosok aku sendiri itu, tapi kakiku kaku. Aku gak bisa bergerak sama sekali dan hanya menutup mata lalu memukul kepalaku sendiri, berharap kenangan ini tidak muncul, berharap kenangan ini lenyap
Bahkan di saat aku mau mati pun, semuanya tetap gak mudah.
"Zen!!"
Aku membuka mata dan melihat sosok kak Kairina yang tersenyum dan mengusap kepalaku.
"Gue ini manusia, lo juga manusia. Apanya yang berbeda??"
"Gue mau liat Zen senyum terus, lo terlihat hidup pas senyum"
Saat itu juga, aku merasakan sosok lain menepuk pundakku, itu kak Jian. Dia juga tersenyum dan kemudian mencubit pelan pipiku
"Ayo, masih banyak tempat yang bakal kita datengin. Stop nangisnya, lo jelek kalo nangis"