25. Bersatu dengan Laut

26 6 0
                                    

Tepat saat aku sampai di apartmentku, kakiku luruh begitu aja dan air mata yang aku tahan selama perjalanan juga mengalir deras. Sakit, rasanya sakit sekali. Luka-luka ini gak sebanding rasanya sama omongan papa, tatapan dingin mama, dan diamnya kak Vero. Apa aku emang udah gak ada artinya lagi buat mereka??

Aku gak pernah berharap mereka menyayangiku layaknya anak atau adik dengan baik, tapi setidaknya jangan anggap aku kayak sampah gini juga. Aku juga manusia yang punya perasaan, apa emang aku gak boleh bahagia sama sekali??

Baru rasanya sekitar 1 sampai 2 bulan ini aku bahagia, aku bisa pergi bersama kakek, camping bersama Arsene, dan menghabiskan waktu sama kak Jian dan kak Kai. Tapi harusnya aku sadar, setiap 1 kebahagiaan yang aku dapatkan, pasti akan ada 100 balasan yang sangat menyakitkan

Aku sendiri bahkan gak tau soal warisan itu, kakek gak pernah menyinggungnya sama sekali saat kita di Jepang. Aku juga kalau tau, aku akan menolak warisan 80% dari kakek itu. Lagipula juga apa gunanya aku punya uang sebanyak itu??

"Uhuk! Uhuk!"

Mulutku kembali memuntahkan darah segar dan dadaku sesak, efek terlalu banyak ditendang papa. Sakit, fisik dan perasaanku sakit. Aku gak mau di sini, aku gak mau ketemu siapa-siapa lagi

Aku gak mau bahagia kalau dibalas seperti ini..

Aku gak mau ada di dunia ini lagi

Semuanya udah cukup

Aku dengan kesadaran penuh, mengambil buku notes kesayanganku dan merobek beberapa kertas di sana, mulai menuliskan kata-kata yang aku anggap, ini kata-kata terakhirku. Aku udah gak peduli lagi, aku udah gak punya alasan untuk hidup

Kakek maaf, aku harus pergi duluan daripada kakek

Arsene terima kasih, kamu setidaknya membuatku merasakan rasa nyaman dari keluarga selain kakek

Kak Jian dan Kak Kai, aku minta maaf karena menyia-nyiakan usaha kalian

Tapi aku lelah, aku mau tidur untuk waktu yang lama aja..

***

Dan di depanku sekarang, pasir putih dan air yang tidak terlihat sama sekali di mana ujungnya. Iya, aku ada di pantai, pantai tempat kak Jian membawaku saat itu. Aku pernah bilang bukan? Aku mau bersatu dengan laut, aku mau tenang dan bebas.

Tuhan, aku hanya punya satu permintaan saat ini. Kumohon, jangan gagalkan aku lagi untuk meninggalkan dunia ini. Aku udah gak ada artinya, aku juga baru sadar kalau aku gak punya tujuan hidup selama ini. Untuk siapa dan apa aku hidup?? Mungkin awalnya aku bisa bilang, aku hidup demi kakek dan diriku sendiri

Tapi aku sadar, kakek punya anak dan cucu lain yang juga enggak kalah menyayanginya daripada aku yang bahkan gak bisa melindungi kakek. Dan aku juga udah kasian sama tubuhku sendiri, aku udah kasian dengan tubuh yang mendapat jiwa gak berarti kayak aku ini.

Ah, maaf, aku punya satu permintaan lagi Tuhan, aku mohon, jika aku terlahir kembali, aku ingin menjadi manusia normal. Aku mau bisa berbicara dan mendengar. Mungkin terdengar terlalu berlebihan, jadi aku juga tidak terlalu berharap.

Aku menatap laut yang ada di depanku dengan air mata mengalir. Jangan takut Zen, dunia ini lebih menakutkan daripada kematian, kamu tau hal itu lebih dari siapapun. Aku sendiri memejamkan mata membiarkan beberapa memori masuk ke dalam kepalaku

"Kenapa kak Jian bisa suka sama kak Kai dan begitu juga sebaliknya??" tanya aku penasaran saat kami sedang piknik bersama

"Eh??"

Aku bisa melihat rona kemerahan muncul di wajah mereka berdua sampai akhirnya kak Jian yang membuka mulutnya terlebih dahulu

"Gue, gue juga gak tau. Tapi kalo sama Kai, gue ngerasa nyaman, gue ngerasa gue ada di tempat yang emang seharusnya gue ada. Rasanya kemana pun gue pergi, sejauh apapun gue pergi, rumah akhir gue tetep ada di Kairina. I love her, I just love everything about her."

"Kalo gue juga sama kayak Jian. Gue ngerasa aman dan nyaman bareng Jian. Jian itu, selalu ngebuat gue merasa di tempat paling aman di dunia. Bareng Jian gue rasanya gak takut buat ngehadapin apapun. I love him, and he is my safe place"

Aku saat itu enggak mengerti, bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Aku cuma pernah menyukai seorang gadis, itupun ditolak mentah-mentah.

"Zen mungkin gak ngerti, tapi nanti pas Zen ketemu orang itu, orang dengan benang merah yang terikat sama Zen. Zen bakal paham apa artinya rumah dan tempat aman itu" ucap kak Jian sambil mengusap kepalaku

Aku kembali membuka mata, sekarang aku tau, siapa rumah dan tempat amanku saat ini. Itu adalah laut yang ada di depan mataku. Tempat aku akan meninggalkan semuanya. Tempat di mana aku akan tidur dan enggak berniat untuk bangun sama sekali.

Pasti rasanya bahagia kalau terlahir sehat dan normal. Lagi lagi, kata-kata itu muncul di otakku. Mungkin dosaku di masa lalu emang sebesar itu sampai Tuhan menghukum jiwa ini sekarang. Aku kembali memejamkan mata, berniat mengingat memori yang aku miliki dari keluargaku, papa, mama, dan kakak

"Kakak!!"

"Zen!! Jangan lari-lari! Nanti jatoh!"

BRUKK

"Tuh kan jatoh! Sakit gak??"

Aku yang saat itu masih berusia 5 tahun hanya menggeleng dan menunjukkan senyuman dengan gigi yang bahkan enggak lengkap itu

"Beneran gak sakit??"

"Bener!! Aku kan kuat!! Ini gak ada apa-apanya dibandingin cubitan papa atau mama"

"Kerennya adek kakak, tapi kaki kamu luka. Ayo pulang terus minta bibi obatin"

Kak Vero, sosok pahlawanku saat itu, dengan tenang menunjukkan punggungnya untukku, memaksaku untuk naik dan digendongnya, membawaku pulang dan mengobati luka di kakiku itu.

Aku membuka mata lagi dan langsung tertawa miris. Nyatanya enggak ada kenangan dari papa mama yang bisa aku ingat. Benar juga, mama mana pernah memelukku, papa juga gak pernah membanggakanku. Nyatanya memang gak pernah ada hal bahagia antara aku dengan mereka

Justru karena itulah, aku semakin mantap untuk meninggalkan semuanya. Aku melepaskan topi yang sedari tadi aku pakai dan menggantungkannya di tas yang aku bawa. Melepas alat bantu dengar yang terpasang di telingaku, ikut memasukkannya ke dalam tas, dan yang terakhir, aku juga melepas sepatu yang aku pakai. Aku letakkan semua barang itu di pinggir pantai

"Pergilah, Zen. Pergilah ke tempat di mana gak ada orang yang bisa nemuin kamu dimanapun"

Akan aku kabulkan apa yang papa pengen pa, aku akan kabulkan hal itu sekarang juga. Aku sendiri yang bakal menjemput kematianku.

Perlahan, aku maju sedikit sedikit. Dingin, tapi rasanya menenangkan. Aku suka sekali sensasi dingin yang menusuk ini.

Awalnya hanya kakiku yang ada di air, sampai akhirnya air itu mencapai pinggangku, dan sekarang air itu sudah setara dengan leherku

5 langkah lagi, jangan ragu Zen

Tepat sebelum seluruh kepalaku masuk ke dalam air, mulutku bergerak sedikit, meski aku tau tidak ada orang yang bisa mendengarnya

"Di sini, aku, Zenjiro Xavier, meninggalkan dunia. Semuanya, aku pamit.."

Dan setelah itu, aku mulai tidak bisa merasakan tubuhku lagi...

TBC

Hai hai, maaf karena updatenya tengah malam gini. Maafkan juga karena ngebuat chapter sesedih ini. Zen cuma mau istirahat kok T.T

Jangan lupa vote and comment ya, see you on the chapter!!

Imperfect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang