Gue terus-terusan menatap sosok Zen yang dipenuhi selang di mana-mana itu. Kondisinya jauh dari kata baik, meski dokter bilang kalau kondisi dia udah stabil, tetep aja gue gak bisa tenang. Adik gue, adik kandung gue yang selalu gue perlakukan dengan jahat. Adik yang gak pernah mendapat kasih sayang yang seharusnya dia dapat dari kecil
"Zen, seandainya kakak berani buat nunjukin rasa sayang kakak ke kamu di depan semua orang, semua ini gak akan terjadi..."
Nyatanya, sosok yang di dalam sana adalah sosok yang paling gue sayangi. Sosok yang selalu ingin gue jaga di belakang gue. Sosok yang selalu ingin gue liat senyumnya.
"Maafin kakak, adek..."
***
Melihat Zen ditampar atau dipukul udah menjadi makanan sehari-hari yang gue temui di rumah sejak kecil. Saat anak itu mulai menginjak 4 tahun, papa dan mama sering sekali mencubit, menampar, bahkan memukulnya menggunakan barang-barang sekitar. Awalnya anak itu sering menangis, tapi lama kelamaan dia menahan tangisnya dan akan menghambur ke pelukan gue sambil terisak
"Cup cup, udah jangan nangis adeknya kakak"
"Sakit? Mana yang sakit??"
Zen kecil menunjuk tangannya yang memar akibat dipukul dengan rotan, membuat gue mengiris sedikit dan segera mengusap obat memar di seluruh luka yang ada.
"Kenapa papa sama mama suka mukul adek ya kak?? Adek nakal ya??"
"Adek enggak nakal, adek anak baik justru. Mungkin papa sama mama lagi kesel aja"
Saat itu, gue berusaha menanamkan kalau orang tua kami enggak membencinya, tapi lama-lama kelamaan tentu saja hal itu udah gak berguna lagi. Zen mulai sadar kalau kehadirannya di rumah ini memang gak diharapkan oleh kedua orangtuanya sendiri.
"Kakak selalu ada di sisi adek kok"
***
"Jangan terlalu banyak main sama Zen, Vero! Inget! Kamu cucu pertama keluarga Xavier, kamu itu pewaris utama kita nanti" tegur papa saat sedang makan malam. Saat itu Zen udah tertidur lelap di kamarnya karena habis menangis akibat dipecut dengan ikat pinggang oleh papa.
"Kenapa?? Zen kan adekku"
"Dia bukan adek kamu! Dia itu pembawa sial rumah ini! Kamu gak boleh terlalu dekat sama dia, nanti kamu tertular kesialannya!" ucap mama mulai tersulut emosi
"Kamu itu sempurna Vero, beda dengan Zen yang bahkan bicara aja gak bisa. Dia itu produk gagal keluarga Xavier dan kamu harus membenci dia karena sudah menodai nama baik keluarga kita"
"Kalo kamu mau jauhin Zen, papa sama mama janji gak bakal sekasar itu sama dia"
Mata gue berbinar saat mendengar itu, Zen gak akan disakiti lagi! Meskipun konsekuensinya gue harus menjauhi adek gue, tapi demi kenyamanan Zen, gue mengiyakan perintah papa mama
***
Semenjak itu hubungan gue sama Zen emang menjauh, gue mulai mengacuhkannya karena dengan itu, benar aja, papa sama mama jarang memarahi atau menyakitinya, mereka juga ikut mengacuhkannya.
"Kakak..."
Hari itu, dia menghalangi jalan gue dan langsung menatap gue dengan tatapan berkaca-kaca. Membuat gue gak tega hati dan ingin langsung mendekapnya. Adek kecil gue yang paling menggemaskan
"Adek ada salah?? Kakak gak pernah mau main lagi sama adek. Kenapa satu rumah gak ada yang anggep adek?"
Hati gue rasanya dihantam saat itu, bahkan gue sampai menggigit bibir, menahan keinginan untuk langsung mendekapnya.