Iyem menarik nafas sedalam-dalamnya sebelum ia melangkahkan kakinya kesalon. Mantra hari ini masih sama seperti yang kemarin yaitu harus kuat menghadapi segala macam dedemit yang ada disalon. Hari ini adalah tepat satu bulan dia bekerja disalon dan selama itu pula dia banyak mendapatkan pelajaran. Iyem mulai menyadari bahwa hidup itu ternyata bukan hanya sekedar menyisir rambut dan bersolek serta berbelanja pakaian seperti yang ia lakukan saat masih bapaknya hidup. Dia tak pernah mengira sebelumnya kalau menyapu dan mengepel adalah sesuatu yang penting, hingga ia harus latihan selama dua bulan lamanya disalon. Kini dia sudah mahir melakukannya, lebih mahir dari semua orang yang ada disalon.
"Selamat pagi." Sapa Iyem begitu didalam salon.
Beberapa orang membalas sapaan Iyem, sisanya hanya memandangnya acuh tak acuh, seakan sapaannya tak terlalu penting untuk dibalas. Meskipun begitu Iyem tetap tersenyum . Dia sudah mulai membiasakan diri dengan sikap orang yang tak menyukainya.
Dulu dikampung dan disekolahnya, semua orang menyukainya. Hanya ibu tirinya dan kedua saudara tirinya yang tak menyukainya, dan Iyem tak pernah tahu mengapa ketiga orang itu tak menyukainya. Sama dengan disalon, dia tak mengerti kenapa orang-orang itu tak menyukainya. Padahal dia tak pernah bersikap tak sopan, pekerjaan mereka juga lebih bagus darinya, gajinyapun lebih besar. Manusia memang tak pernah bersyukur dengan apa yang dimilikinya, pikir Iyem.
Namun satu hal yang Iyem pelajari selama satu bulan di Jakarta: Orang yang tinggal di kota ini tak seramah orang dikampungnya. Dikampungnya, semua orang akan memberikan salam dan anggukan jika bertemu dengan orang lain. Dikota ini, meskipun Iyem sudah tersenyum ramah, menyapa dan mengangguk, mereka tetap bermuka asam, seasam sayur asam kesukaannya. Belum lagi candaan mereka yang menurutnya kasar dan tak sopan serta sering meranah ke penghinaan. Dikampungnya, tak mungkin orang akan bercanda soal fisik, status dan intelektual seseorang.
"Kalau kerja jangan ngelamun! Emang lo digaji untuk ngelamun!" Bentak suara dibelakangnya.
Iyem menoleh ke siempunya suara.
Resa.
Wanita itu adalah salah satu contoh penghuni kota yang tak pernah ramah ini. Dia tak pernah bertutur kata dengan baik. Suka menyakiti hati orang lain dengan mulutnya yang mirip ikan mas koki.
Iyem kembali mengingat mantra tadi pagi, memandang sesaat siempunya suara. Resa tak tinggal diam dengan tatapan yang menurutnya menantang itu.
"Kenapa? Nggak suka kalau dibilangin?!"
Iyem segera meletakkan kain lap yang sedang dicucinya diwastafel.
"Mbak Resa kenapa? Ada masalah sama saya?" Katanya dengan suara lembut.
Resa terbelalak. Gadis itu seperti menantangnya.
"Eh anak baru sudah belagu ya. Mentang-mentang banyak lelaki yang nanyain. Sekarang jadi banyak tingkah ya!" Wanita itu melangkah dan mendorong dada Iyem. Tanpa disangkanya, Iyem menepis tangan Resa.
Wanita itu semakin murka dengan ketenangan sikap Iyem. Baru saja ia mau mengeluarkan jurus setan paginya, Lisa tiba-tiba muncul.
"Ada apa pagi-pagi udah ribut?"
Resa selangkah mundur, menjauh dari Iyem. Namun tatapannya tak lepas dari Iyem. Wanita itu masih ingin menelannya hidup-hidup.
"Nggak ada apa-apa Mbak Lisa. Mbak Resa cuma ngasih tahu soal bersihin bekas waxing." Balas Iyem.
Lisa memandang keduanya bergantian.
"Kalau urusan kamu udah selesai langsung ke tempat kamu aja." Perintah Lisa ke Resa.
Tanpa sepatah katapun, Resa meninggalkan ruangan. Lisa kembali memandang Iyem yang kini sedang mencuci kain lap.
"Yakin kamu nggak apa-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CINDYEMRELLA
FantasiPada malam pesta ulang tahunnya yang ke sembilan belas, Cindy mendapatkan sebuah cincin misterius bermata biru. Cindy meminta managernya, Evi untuk menelusuri cincin misterius itu. Penelusuran itu membawa Evi pada kisah tragedi yang terjadi tiga aba...