Diary 15

126 11 2
                                    

"Selama tinggal disini, aku jarang bertemu dengan orang tuaku. Saat kita bertemu, kita akan selalu berselisih. Makanya, aku membeli rumahku sendiri."

Satang berdecak, " Ya, aku bisa memahamimu. Kurasa mereka akan menyerah menghadapimu yang keras kepala ini."

Winny menatapnya, dia menoleh ke arah Satang. Dia menaikkan satu alisnya. "Bagaimana kamu tahu aku keras kepala?"--"Menurutmu?"

Satang terkekeh sambil berjalan keluar dari museum kemeja dan sepatu yang amat besar dan banyak. Tadinya, memang bagi Satang itu adalah hal yang akan sulit ditirunya. Tapi, dia juga akan berpikir untuk mengoleksi banyak kemeja, tuxedo, jas dan sepatu sebanyak itu. Dia masih ingin memakan salad pedas yang biasa ia beli di kantin. Jika dia menginginkan semua itu, seluruh asetnya juga tidak akan cukup menutupi pembayarannya.

Winny mengikuti secara pelan, diam-diam Winny selalu tersenyum tanpa sebab yang jelas. Satang sesekali menatapnya, aneh dia rasa. Tidak terlalu penting juga untuknya yang terbiasa melihat Winny tersenyum tiba-tiba. "Jadi, pulang?"

Pertanyaan itu membungkamkan mulut Satang, dia masih ingin duduk dan menikmati suasana sore di rumah besar ini. Jikalau dia harus pergi sekarang, waktu yang akan datang, dia akan meminta Winny mengajaknya kemari. Itu bisa menjadi agenda baru dalam liburannuya. Oh, ya. Minggu depan, Satang berniat untuk mengunjungi keluarganya yang ada di Bandung. Sudah saatnya dia menjenguk semangatnya disana, dia sudah berkali-kelai ingin segara pulang, tapi perkuliahan tidak selalu memiliki masa yang bagus.

"Kenapa diam? Jadi pulang atau masih mau disini?" tanya Winny lagi.

"Pulang," satu kata dan membuat Winny kembali lagi terseyum.

Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir dihalaman rumah, angin sepoi itu memberikan kesan cerah dan bercahaya, namun suhu disana tidak terlalu mencekam. Satang bisa beradaptasi dengan cepat, terlebih suasananya yang nyaman dan tenang. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang dan hanya ada suara musik penenang juga suara air yang cukup kuat, tapi menenangkan.

"Ibuku membawakan ini untuk anak manis, katanya."

Winny mengulurkan paperbag yang cukup besar, aroma yang tercium disaat Satang menerimanya adalah aroma yang sangat enak. Namun, Winny sama sekali tak ada niatan untuk memberikan paperbag itu kepada Satang. Yang ada hanya tersenyum dan menatap Satang dengan kuat. lama-lama perasaan satang menjadi kesal, dia menahan bibirnya agar tak mengumapt kesal.

"Berikan kentangnya, dan ayo berangkat." Satang memutar bola mata sambil mengoper paperbag itu ke tangannya.

Mereka berdua memasuki mobil, Winny mulai melajukan mobilnya dengan santai. Satang mengulik paperbag yang berisi kentang goreng dengan saus pedas didalamnya. "Omong-omong, kentang ini sangat enak."

Dulu Winny juga menyukainya, namun semenjak dirinya dan ibunya sering berselisih semua masakan yang ibunya buat memiliki rasa yang kacau. Tapi kentang itu adalah makanan kesukaannya sejak kecil, Sebenarnya, Winny juga cukup pandai dalam memasak, setelah memilih meninggalkan rumah, dia mulai belajar semuanya sendiri, masak, memberishkan rumah, mencuci dan berkebun. Dia memulainya sendiri setelah meinggalkan rumah besar.

Winny cukup sering memasakan, membuat roti atau sup yang baginya itu mudah dan bisa ia pelajari hanya dengan membaca resep sekali. Kadang saat mencoba memasak makanan lain, dia harus dengan sia-sia membuangnya. Jadi, Winny selalu bertahan dengan membuat roti dan sup yang selalu ia variasi.

"Aku ingin membuatkan kamu sesuatu." ujar Winny.

Satang dengan mulut yang penuh, dia menoleh dan menatap dengan tanya. Satu hal yang dia lihat sekarang adalah keadaan jalan yang sepi dan tenang, tidak ada kendaraan lain yang melintas dijalanan itu. Sesaat kemudian, rumah-rumah yang cukup besar terlihat, banyak sekali rumah mewah dan bagus disini. Dan apa yang Winny maksud tentang rumah sederhana baginya, tetap saja bagi Satang itu adalah rumah mewah.

"Oke, kita sudah sampai." Winny juga Satang melepas sabuk pengamannya. Keluar dari mobil dan berjalan kecil ke arah rumah yang cukup besar. Tidak sebenar rumah utama tadi, tapi rumah ini hanya sanggup dibeli oleh orang kaya. Satang hanya menatap saja, Dia mengikuti Winny yang sudah berjalan lebih dulu, membuka pintu dan Satang tertegun dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan.

"Rumah punya mas?" -- "Bukan."

Mendengarnya, Satang mendatarkan wajahnya. Winny tertawa, dia mengangguk dan mengajak Satang untuk masuk ke dalam rumah. "Ini hasil jerih payahku, sekarang sudah jarang aku tinggali."

"Kenapa begitu?"  Satang menatap Winny, sedang Winny tersenyum dan merangkul. "Kan mas tidur bareng cah ayu." ucapnya sambil mencubit kecil pipi Satang. Sang empunya mengaduh, dia menatap kesal Winny. Namun kesan yang diberikan adalah wajah cemberut yang amat lucu bagi Winny.

"Kalau Satang suka, Satang bisa tinggal bareng sama mas disini. Gimana?"--"Hah?"

[To Be Conntinued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang