Diary 05

128 20 0
                                    

Fourth memasukkan beberapa buku yang berserakan dimeja. Ya, ini sudah lebih dari jam sepuluh malam dan mereka berdua--Satang dan Fourth masih sibuk dengan rekapan laporan dan beberapa tugas.Sore tadi mereka berada di indekost masing-masing, namun entah apa yang membangunkan gairan Satang untuk datang menemui Fourth dan mengajaknya ke kampus.

Sebenarnya ada maksud terselubung yang sengaja Satang pendam sendiri. Dia ingin mengetahui tentang Winny lebih dalam. Pertanyaan yang hadir di kepalanya, membuat Satang harus berpura-pura menyamar dengan sibuk mengurus laporan dan tugas, yang jelas itu sudah ia kerjakan tadi. Dengan alasan, dia harus membenarkan beberapa bagian yang tidak sesuai, yang sebenarnya itu tidak ada.

Dengan alasan lain juga, dia ingin sesekali menanyakan tentang Winny kepada Fourth. Tidak ada teman yang lain, hanya Fouth satu-satunya. Selebihnya hanya teman kenal, Satang terlalu frustasi jika harus berkumpul dengan temannya yang asli Semarang. "Untung aja aku jenek tinggal disini."

"Hah? Kamu bisa bahasa Jawa?"

"Aku harus bisa bahasa Jawa. Mulai sekarang, Fourth, gunakan bahasa Jawa saat berbicara denganku." Kesuksesan bukan hal yang mudah untuk diraih. Mempertahankan etikat baik juga susah untuk di jaga. Sedang Satang tak akan pernah menyerah, bahkan kata menyerah pun tidak ada dalam kamu Satang. Fourth cengo.

Satang harus terus menekuninya.

Satang memandangi jalanan yang cukup sepi, setidaknya di lobby fakultas mereka masih banyak mahasiswa yang sibuk dengan tugas maisng-masing, atau hanya sekedar numpang WIFI.Waktu membuat mereka berdua tersadar, dan mau tidak mau mereka harus beranjak dan meinggalkan lobby. Bukan apa, hanya saja Gemini--kekasih Fourth akan marah besar jika tahu mereka masih dikampus.

Mereka berjalan di trotoar, dengan penerangan yang cukup minim namun tidak gelap, mereka sesekali menyaut saat pertanyaan yang bisa menumbuhkan gairah tertawa, tidak selalu seperti itu, mungkin juga karena rasa lelah yang mereka berdua rasakan sekarang.

"Fourth, apa kamu ingat sesuatu?"--"Tidak."

"Ah, apa kamu ingat Bar yang jelek itu? Tempat nongkrong waktu kita baru saja menginjakkan kaki di Semarang."

Nampaknya, perlu beberapa saat untuk Fourth menyadarinya. Satang merangkul teman seperjuangannya itu.

"Ya, Satang. Coba kamu jelasin lebih spesifik lagi. Ada banyak bar jelek menurutku disini. Waktu kita sampai disini pun sudah berapa banyak bar yang kita masuki?" Fourth mendengus sambil melepas rangkulan dibahunya. Satang tersenyum meringis.

Ya, sudah beberapa bulan mereka berada di Kota Lumpia itu. Banyak bar yang sudah mereka datangi. Seperti di kota asal mereka, hal tentang bar adalah hal yang sangat umum bagi kalangan anak muda. Terutama mereka, sangat terbiasa. "Cukup lama, dulu di bar itu kita pertama kali menginjakkan kaki disini. Sebelum masuk ke kampus."

"Ouh."--"Sekarang ingat belum?"

Fourth mengangguk.

"Ya, aku ingat, Kota Tua kan? Waktu Captain dikeroyok sama bocil di set satu kan? Yang berujung kita nginap dirumah Mark itu kan? Aku ingat."

"Lalu kita harus menahan malu karena tidak mengenal dekat mereka. Hahaha."

"Bukannya minta maaf, malah jadi orang gagu."

"Heish, selain itu, salah kamu juga nggak belain Captain."

Percakapan mereka masih berlanjut. Tapi, bukan bar jelek dari inti percakapan itu.

"Ini menyangkut seorang pelayan yang menolongku waktu itu."

Fourth tertawa lepas kali ini, "Coba lebih spesifik lagi. Pelayan yang menolong kita juga banyak. Aku tidak memperhatikan mereka semua."

"Winny. Pria dengan rambut menutupi telinganya. Mata cokelat indah. Wajahnya cukup garang. Dia bekerja disana, sebagai pelayan. Dan kamu tahu? Sesuatu terjadi di antara kami. Seru dan singkat. Waktu aku pulang dari Yogyakarta."

"Hmm, Winny? Pria yang kamu tanyakan siang tadi? Banyak pria dengan rambut menutupi telinganya. Lama-lama semua pria di muka bumi ini terlihat mirip."

"Pertemuan kita sangat singkat, tapi beneran seru!"

Fourth memutar bola mata. Membenarkan tas punggungnya yang cukup berat. Dia nampaknya merasa bahwa perjalanan pulang mereka tidaklah secepat biasanya. "Oke, jadi inti dari itu semua?"

"Dia, memotong rambutnya."

Fourth berhenti. Dia menatap wajah Satang dengan kuat. Tangannya mengepal dengan kerasnya. kalau saja pria usil didepannya ini bukan temannya, pasti dia sudah menghajarnya habis-habisan.

"Aku hanya tidak menyangka, kita satu kampus dan juga aku mengingat tentang bar tadi. Pantas saja dia terlalu familiar buatku."

Fourth bersenandung kecil untuk menghilangkan rasa kesalnya. Tapi, perjalanan mereka kembali berhenti. Sosok yang tengah mereka bicaran tadi, muncul secara tiba-tiba didepan mereka. Rambut yang sudah terpotong rapi, earphone yang terpasang di telinga dan tas selempang hitam yang bertengger di lengan kanannya. Juga, jemarinya yang asik menekan layar ponsel itu.

"Mas ganteng." ucap Satang secara tiba-tiba. Fourth berlari meinggalkan mereka berdua saat melihat kekasihnya sudah berdiri didekat pohon besar dengan tampang yang benar-benar menakutkan.

"Loh, cah ayu disini?"

"Aku Satang!"

[To Be Continued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang