Diary 18

150 11 3
                                    

Waktu memberikan mereka sebuah jalan untuk menginjakkan kakinya kembali, bertemu dan berjumpa dengan kebahagiaan yang tertahan sejenak. Satang melepas kemejanya, meninggalkan kaos polos ditubuhnya. Keduanya duduk termenung di ranjang, Fourth masih dengan keadaan yang termangu, merenung dengan kalimat yang terucap oleh ibu Satang.

“Sudahlah, jangan dibawa hati, mending ikut aku? Ada waduk kecil disebelah dusun, pasti ingat kan?”

“Aku hanya membenarkan apa yang ibumu bicarakan,”

“Aku tidak peduli, biarkan saja, toh mereka tidak tahu apa yang terjadi di hidupmu. Aku disini Fourth, jangan sampai terbebani dengan kalimat-kalimat itu.” Satang mencoba menahan bahu Fourth, memang hal yang paling ganas dan tajam adalah lidah.

Satang memeluk tubuh Fourth sejenak, tangannya menarik tubuh Fourth agar berdiri, memapahnya menuju ruang tengah, Satang tersenyum lebar mencoba untuk menghibur Fourth.

“Oke, berangkat sekarang ya?”

Keduanya berjalan meninggalkan rumah, langkahnya begitu kuat dan semangat, tentu saja mereka begitu bersemangat, perasaan bertemu dan kembali bermain adalah hal hebat yang bisa terjadi. Semuanya tidak akan bisa kembali seperti semula, kecuali kita menciptakannya sendiri.

Fourth bertekad akan benar-benar membangun momentum kecilnya kembali, walaupun tidak akan pasti berhasil. Tapi, usaha yang akan dirinya jalani amat besar dan tekad yang kuat.

Perjalanan menuju waduk disana cukup seru, percakapan kecil yang mengingatkan tentang kejadian masa kecil mereka. Bertemu, bermain dan bercanda sampai meninggalkan rumah hingga larut malam. Semuanya terjadi begitu cepat, rasa yang tercipta cukup berbeda.

“Lihat, bagus banget,” tangan Satang mengusap lembut bahu Fourth, membawanya untuk memberikan hiburan dan kesenangan.

Disana cahaya matahari cukup menusuk, tak banyak orang yang berkunjung, namun suasananya cukup indah dan mendalam. Suara air yang bergemuruh dengan angin yang terus menerus melemparkan gulungan ombak kecil disana. Satang tersenyum tipis, melihat kembali waktu yang sudah hilang. Berdiri dengan kaos polos dan celana pendek, bermain air dan melupakan rumah.

Fourth ikut tersenyum, dirinya melihat secara penuh angin dan air yang bertarung mempertahankan diri masing-masing. Kekuatannya begitu tak seimbang, hanya bisa melihatnya dengan diam.

Saat sedang asyik-asyiknya mereka menikmati keindahan waduk itu, ponsel Satang berbunyi. Dia melihat nama Mas Ganteng disana, senyum manis muncul di bibir Satang. Baru beberapa saat mereka terpisah, perasaan rindu itu sudah kembali membuncah. Entah mengapa, Satang merasakan kehadiran perasaan yang begitu kuat.

[Halo, cah ayunya mas?]
[Gimana kabar disana? Aman nggak?]

Pertanyaan itu mendapatkan sahutan tawa kecil dari Satang. Dia mengangguk, walaupun Winny tak melihatnya.

“Aku baik-baik saja, disini sangat aman, tak ada hal yang terjadi,”

[Baguslah, oh ya, mas boleh minta tolong?]

“Iya, apa itu?”

[Jemput mas di stasiun.]

Mendengar kalimat itu, wajah Satang terdiam. Namun, tak ada kemungkinan yang bisa terjadi untuk Winny datang kemari.

“Ah? Mas jangan bercanda deh,” tanggap Satang.

[Kapan mas bercanda?]

Satang menarik tangannya, menepuk bahu Fourth pelan. Pandangan matanya berkilat, Fourth bingung tentu saja. Walaupun segaris mereka terduduk, Fourth hanya masih ingin mengingat Gemini disana.

“Fourth, Winny mau kesini.” kalimat membuat Fourth membola.

“Eh, nggak mungkin. Bukannya kamu sudah bilang Winny sama sekali nggak tahu?”

“Mana aku tahu, dia sudah sampai stasiun.” ujar Satang sebelum tangannya meninggalkan telepon dan mengetikkan kalimat melalui media pesan.

Beberapa kali Satang mengetiknya, ada perasaan yang mengganjal dan memaksanya untuk diam. Satang sedikit bingung dengan kedatangan Winny yang tiba-tiba.

“Apa aku harus setuju? Atau aku harus menyuruhnya kembali?” tanpa Satang, dirinya panik. Ada rasa ragu untuk membawa Winny ke rumah. Fourth menghendikan bahunya, juga ikut buntu dengan pikiran mereka. “Kalau sudah sampai stasiun, apa boleh buat?”

“Ayo!” ajak Fourth tiba-tiba, Satang termangu dan menatap Fourth dengan tanya. Tangannya masih ingin mengetikkannya kalimat-kalimat panjang untuk Winny.

“Kemana Fourth?”

“Menjemput Winny, aku sudah tidak sabar,” kekehan kecil muncul di wajah Fourth.

Kakinya sudah melangkah lebih dulu, meninggalkan Satang yang masih kebingungan dengan hal yang akan dirinya hadapi selanjutnya, tak banyak kata yang bisa Fourth ucapkan. Dia berjalan cukup jauh dari Satang, sedang dirinya masih bingung dengan kalimat apa yang harus dirinya sampaikan ke Winny.

Jemarinya seolah berhenti berfungsi, dia melihat Fourth sudah jauh dari dirinya berdiri, dengan pasrah dirinya berjalan mengikuti Fourth. Kakinya mulai melangkah lari dengan baik, dia mensejajarkan langkahnya dengan Fourth. Senyum pasrah Satang berikan untuknya.

“Kasih aja alamat rumahmu, nanti pasti secara ajaib Winny akan datang.” ucap Fourth, kalimat itu hanya ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Satang.

“Sudahlah, ayo kembali,”

Tangan Satang merangkul pundak Fourth dengan kuat, langkahnya semakin cepat. Langkahnya berlalu, tangannya kembali ke saku.

“Aku tebak, Gemini pasti ikut,”

Mendengar itu, Fourth berhenti.

“Benarkah?”

[To Be Continued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang