Diary 17

125 12 0
                                    

Bandung, November 2023

Satang tersenyum lebar, melihat ramainya pengunjung stasiun yang sedang berlalu lalang, sebagian mengantri untuk masuk ke dalam kereta, sebagian lagi sedang sibuk dengan bawaan mereka. Fourth salah satunya, dia mengomel ketika kereta itu berhenti. Wajahnya bersungut marah, tapi dia hanya bergumam tidak jelas. Satang menarik kopernya, dia berjalan menuju pintu keluar dan menghirup udara yang amat menyejukkan.

“Berapa lama kita tidak menginjakkan kaki disini?” tanya Satang pada Fourth. Dia melirik sekilas, tangannya menahan tas besar dan koper yang berat. Ini adalah kesalahan Fourth, dia mengira, dia akan berada disana beberapa lama. Tapi, Satang memberitahunya saat akan memasuki kereta.

“Dua tahunan mungkin? Aku tidak bisa mengingatnya lagi.” ujar Fourth.

Satang tersenyum kecil mengingat dirinya sudah berdiri di tanah kelahiran. Mereka berjalan menuju tempat taksi beroperasi, tidak banyak yang berada di tempat itu. Beberapa penjual juga sedang menata barang dagangan mereka. Pagi datang begitu cepat Satang rasa, karena baru beberapa menit mereka berjalan, matahari sudah mengintip dibalik awan tipis di ujung timur.

Karena waktu yang masih terlalu pagi, tak ada taksi yang bisa mereka tumpangi. Alhasil, mereka memesan taksi online, itu membuat mereka harus merogoh koceknya lebih dalam. Tapi, bukan masalah bagi Fourth. Dia mempunyai kekasih yang sudah seperti Bank baginya.

Keduanya menunggu diseberang jalan, udara dingin sedikit menusuk tulang. Jalanan masih sepi, beberapa mobil dan motor masih bisa dihitung dengan jari.

“Apa kamu yakin?”--“Apa?”

Fourth terdiam, dia tidak melanjutkan pembicaraannya. Matanya terpejam, lalu tersenyum dan tertawa secara tiba-tiba.

“Sudah. Bukan apa-apa.” ujarnya sambil berdiri, berjalan menarik koper dan membuka pintu bagasi belakang mobil itu. Keduanya memasuki mobil, melihat wajah masing-masing yang nampak kucel dan lelah.

Perjalanan mereka tidak terlalu lama, karena suasana perkampungan yang ramai sudah didepan mata. Satang tersenyum penuh, dia menatap wajah-wajah segar dari para petani dan anak-anak yang sedang akan berangkat sekolah.

“Loh, hari ini bukan Minggu ya?" tanya Fourth, mendengar itu, Satang tertawa. “Bukan, apakah kita lintas waktu sampai-sampai hari ini hari Minggu lagi?”

Fourth terkekeh kecil, dia menatap sekitaran juga sama seperti Satang. Nampak kagum dan begitu banyak hal yang berubah. Jalan yang mereka lewati sudah lebih baik daripada waktu mereka meninggalkan kampung ini. Hingga, mobil itu berhenti, tepat disebuah rumah yang cukup besar, tidak begitu mewah tapi halamannya luas dan memiliki gerbang setinggi perut orang dewasa.

“Terima kasih, pak.” ujar Satang saat keluar dari mobil dan menarik kopernya dari bagasi.

Langkah mereka begitu kuat, tatapan rindu yang sudah mereka pendam untuk kembali dan berjumpa dengan orang yang mereka rindukan.

“Ibu?”

Suara lembut yang mengudara di pintu masuk rumah, senyum manis terpanjang di wajah Satang dengan baik. Sosok ibu yang sedang duduk membaca sebuah buku disana, terhenyak, matanya tertegun sejenak. Dia bergegas berdiri, berlari kecil menuju tempat Satang berada.

“Satang? Anakku!” suara itu dibarengi dengan rengkuhan kuat dari sang ibu. Wajahnya terbenam di bahu sang ibu, ada tetesan air mata rindu yang sudah merebak menanti jatuhnya saat yang tepat.

“Ibu, apa kabar? Satang kangen banget sama ibu.” pelukan itu cukup melonggar, ada celah udara yang kembali mengisi antara mereka. Senyum ibu menghiasi wajahnya yang cukup rentan, ada beberapa kerutan yang mulai terlihat jelas disana.

“Ibu sangat baik, kamu sehat juga kan? Ibu kangen banget sama kamu juga.” ucapan itu berakhir dengan usapan jemari lembut ibu di surai Satang.

Lalu, tatapan dan senyum ibu Satang sedikit memudar. Menatap seseorang yang sedang tersenyum disana, Fourth tersenyum manis padanya, namun tatapan itu segera berakhir.

“Kamu bersamanya?” ujar sang ibu, ada perasaan yang tiba-tiba saja mengigitnya, ada dada yang Satang rasa mengalirkan cairan racun yang mulai menyebar di seluruh arterinya.

“Fourth, bu.” ungkap Satang dengan lembut. Ada helaan napas panjang terdengar dari sana. Senyum yang semula penuh, kini harus pudar tanpa waktu yang lama.

Mereka berdua memasuki rumah, menuju satu kamar yang sudah mereka tempati berdua. Kamar itu adalah saksi dimana Fourth mengakui jati dirinya, sungguh kenangan yang sangat membekas. Wajah dari sang ibu pun, turut menjadi pertanyaan besar bagi Satang.

“Sudah, jangan diambil hati. Sekarang mending kamu istirahat. Lagi pula kita disini hanya liburan, bukan untuk menetap.” ujar Satang dengan mengusap punggung Fourth. Dirinya tidur dengan menutupi wajahnya menggunakan bantal. Terdengar isak kecil dari balik sana, Satang tersenyum tipis.

“Apa kita pulang lagi aja?”

Pertanyaan itu segera membangkitkan gairah Fourth untuk menatap Satang. “Nggak mau.”

Dengan isakkan kecil itu, membuat Satang tertawa. Sampai saat ini, Fourth adalah Fourth. Mungkin bagi orang lain, dia hanyalah manusia yang berbeda dengan kaumnya. Namun, bagi Satang, Fourth adalah satu-satunya dunia yang bisa membantu Satang untuk tetap tertawa dikala banyaknya lintasan masalah yang dihadapinya.

Dan untuk ibu Satang, ada satu hal yang tidak akan Satang tutupi untuknya. “Aku, menyukai laki-laki, bu.”

[To Be Continued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang