Satang sangat berhati-hati untuk tak menoleh pada Fourth, ada perasaan yang mengatakan bahwa Fourth akan mem-bully nya. Jalan mereka cukup lambat, tubuh keduanya amat dekat, saling bergesekan antar bahu mereka. Sebenarnya, Fourth jelas kebingungan dengan apa yang Satang lakukan sekarang. Satang lebih diam, dia berjalan lebih cepat dan cukup jauh dari Fourth, ia tak mau jika Fourth benar-benar akan mem-bully nya.
Ekspresi tengil Fourth muncul, kemudian dia tersenyum santai dan berjalan menyusul Satang di depan." Satang, jadi benar ya dugaanku?"
Satang spontan tersenyum. "Maksudnya?"
"Jadi, kamu memang menyukai Winny?" Satang segera menoleh. Menggeleng dengan kuat.
"Enggak. Mana mungkin."
"Jadi, apa masalahnya?" Fourth mendekat. "Kamu cemburu 'kan?"
Sambil mendesis kesal, Satang berhenti dan menatap Fourth. "Tidak. Aku sama sekali tidak tertarik dengan ... nama yang kamu sebut tadi. Aku tak main-main. Aku juga tidak sedang malu-malu. Hidupku sudah menyenangkan dan tenang, aku suka itu dan aku tak mau membawa orang lain."
"Tak ada nama yang aku sebut tadi. Kamu tidak perlu menyangkalnya. Aku sudah bisa menebaknya dengan mudah." dengan tawa kecil saat Fourth berbicara. Satang mendengus kesal.
Perjalanan mereka kembali dimulai, jalanan yang cukup redup membuat mereka sedikit berhati-hati. Walaupun kesal rasanya, tapi bagi Satang itu kebenaran yang sudah terungkap sebelum masanya. Tapi, saat langkah mereka menjadi cepat, Satang tak sengaja menambrak seseorang disaba. Gang gelap itu membuat keduanya sedikit merinding. Satang membolakan matanya saat melihat seseorang itu. "Mas Winny?"
Fourth diam memperhatikan. Walaupun dia ingin sekali tertawa dengan Satang yang terlihat begitu terkejut.
"Satang? Kowe ngopo neng kene?" -- " Hah?"
Satang menelan ludah, dia tidak mengerti dengan kalimat apa yang baru saja tersampaikan. "Kamu ngapain di sini?"
Satang mengangguk paham saat dia mendengarkan kembali kalimat yang teucap.Gelombang karisma terpancar dari Winny. Bahkan di gang gelap ini, Satang bisa melihat dengan jelas pancaran wajah Winny yang begitu tampan. Bukan karena pakaiannya. Bukan karena kepura-puraan. Satang sangat mustahil tidak tertarik pada Winny. Karena ketidak sengajaan itu, membuat Satang harus menerima gebrakan yang sangat luar biasa. Percikan kimia yang membuat Satang berkeringat dan pusing.
Satang berdiri lebih tegak. "Aku harus pergi, ada beberapa buku yang ingin aku beli. Ah, Fourth ayo pergi."
Winny menyambar tangannya, menggenggam jemarinya, dan Satang tersetrum. Ia tidak boleh memulainya lagi. Tangan itu terasa panas. Tubuh Winny cukup panas yang menyalur melalui genggaman jemari yang dirinya lakukan. Bahkan hanya dengan genggaman tangan itu, Satang merasa keringatnya bercucuran amat deras, suhu tubuhnya meningkat pesat. Apakah Winny semacam penyihir? Bagaimana dirinya bisa menjadi begitu panas?
Tatapan mata Winny membuyarkan keinginannya tadi. "Tunggu, Biar aku mengantarmu. Toko buku diujung jalan itu kan?"
Dengan segenap tekad, Satang perlahan menarik tangganya, jemari mereka masih bersentuhan hingga saat terakhir. "Tidak. Sungguh. AKu sangat berterima kasih, tapi aku akan berjalan bersama Fourth."
Satang menatap paksa Fourth untuk membantunya, tapi bukannya membantu Fourth lebih memilih untuk tertawa dan tidak menghiraukan apa yang terjadi didepannya itu. "Sepertinya, aku harus pulang sekarang."
Mendengar itu, Satang spontan menoleh menatap ke arah Fourth. Tatapan tajam itu tak sedikitpun membuat Fourth luluh. "Kak Winny, aku pulang dulu, anterin aja dia suka ketakutan." Lalu, Fourth menepuk bahu Satang dengan cukup keras, "Jangan lupa dinikmatin."
"Fourth! Aaa aku tidak jadi membeli buku."
"Tidak, kamu sepertinya harus membeli buku itu, penting sekali." Fourth mendorong Satang dan dengan refleks Winny menahan tubuh Satang. tatapan mereka cukup dalam, wajah Winny yang cukup khawatir dan Satang yang tidak membayangkan hal ini akan terjadi. "Aku. Aku harus pulang."
Winny membantu Satang untuk berdiri dengan benar. Dia tersenyum dengan lebar, " Beneran mau pulang?"
Tanpa menunggu lama, Satang mengangguk dengan kuat, dia segera membenarkan barang-barangnya dan berbalik. "Aku antar ya."
Sekali lagi, Satang terdiam.
Winny mengernyit, dia berjalan bersebelahan dengan Satang yang semakin diam. "Kenapa cah ayu?"--"Aku Satang."
"Iya, Satang, kamu kenapa?" --"Gak papa."
Satang meninggalkan Winny dengan berjalan lebih cepat, Winny masih berjalan dengan santai dengan bola matanya yang mengikuti punggung Satang yang semakin menjauh. Winny berhenti di pinggir jalan, "Aku sungguh bahagia dengan kamu, kamu bekerja dengan keras hingga saat ini. Ayolah, Winny, kamu jangan bodoh. Dia ingin diperhatikan." gumamnya pada dirinya sendiri.
Satang masih berjalan cepat, dia berbelok untuk menghindari Winny. Saat dirinya menoleh, Winny tak ada disana. Rasa tegang di perutnya mengendur dan ia bisa bernapas dengan lega. Kakinya yang gemetar, mulai membaik. "Aku bisa gila."
Keputusan Satang untuk berhenti salah. Suara langkah kaki milik Winny terdengar begitu jelas. "Kamu menungguku, cah ayu?"
[To Be Conntinued]