Malamnya, ketika mereka sedang menikmati suasana tenang di halaman luas, ibu Satang datang dan memanggilnya, "Nak, kemarilah." Satang, yang saat itu sedang bersandar di bahu Winny, langsung menjauh dengan kaget. Dengan gugup, ia segera menghampiri ibunya.
"Iya, Bu?" jawab Satang dengan nada penuh tanya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih cepat. Ibu Satang menatapnya dengan mata lembut namun tegas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Teman-teman Satang yang memperhatikan dari kejauhan berhenti bercanda, menunggu kelanjutan percakapan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Suasana halaman yang tadinya riuh dengan tawa perlahan menjadi tenang, menyisakan hanya suara malam yang mengiringi momen tersebut.
"Ibu tidak bisa membiarkan mereka lama di sini, tiga hari dan mereka harus pergi," jelas ibu Satang dengan nada lembut namun tegas. Meskipun itu adalah kalimat pengusiran halus, Satang merasakannya sebagai bentuk perhatian. Dengan senyum penuh haru, ia memeluk ibunya erat. "Terima kasih, Bu," ucapnya tulus.
Winny, yang mengamati dari kejauhan, tersenyum dengan pengertian. Ia melirik sekilas ke arah Satang yang tengah memeluk ibunya, merasa hangat melihat kedekatan mereka. Teman-teman lainnya juga diam sejenak, menyadari batasan yang diberikan dengan penuh hormat. Malam itu, meskipun ada batas waktu yang telah ditetapkan, kebersamaan mereka tetap terasa berharga. Mereka tahu, momen-momen seperti ini adalah bagian dari kenangan indah yang akan mereka bawa selamanya.
Satang kembali mendekati Winny, menikmati bahunya sebagai tempat bersandar. "Mas, boleh lebih lama di sini. Mas bisa menemaniku biar tidak kesepian," jelas Satang dengan lembut. Winny tertawa, "Aku di Semarang juga bisa menemanimu, Dek. Kan ada ponsel," goda Winny, mencoba mengalihkan kekhawatiran Satang.
Namun, Satang hanya menggeleng mantap. "Di ponsel dan di kenyataan itu beda, Sayangku," katanya dengan tegas, suara yang penuh keyakinan. Winny tertawa, terkesan mendengar panggilan 'Sayangku' dari Satang. Mereka berdua saling menatap, hangat dan penuh makna.
Di sisi lain, Gemini yang mendengar kata 'Sayangku' dari Satang, segera membisikkannya pada kekasihnya, Fourth. "Fourth, kamu nggak ada niatan mau menggodaku, sayang?" bisik Gemini dengan senyum nakal di wajahnya.
Fourth yang mendapat pertanyaan tak terduga itu menoleh, matanya melintas sejenak ke arah Winny dan Satang yang tengah bersandar satu sama lain. Lalu, ia menoleh kembali, mendapati wajah tampan Gemini yang memandangnya dengan tatapan penuh arti. "Nanti dulu ya, Sayangku, jagungnya gosong ini," ucap Fourth dengan lantang sambil memperhatikan sesuatu di depannya.
Winny dan Satang tertawa malu mendengarnya, sementara Gemini hanya tersenyum penuh kemenangan atas reaksinya.
...
Hari kedua di Bandung, Satang membuka diary-nya kembali. Dengan hati berdebar, ia menulis, 'Akhirnya, ini adalah waktu yang aku tunggu. Aku merasa malu, tapi aku tidak bisa menahan rindu ini.'
Halaman diary itu menjadi saksi bisu dari perasaan yang selama ini ia sembunyikan, tapi kini tidak bisa lagi ditahan. Dalam kata-kata yang sederhana namun penuh makna, ia mencurahkan isi hatinya, menyiratkan betapa pentingnya kehadiran seseorang dalam hidupnya. Meskipun merasa malu, rasa rindu itu lebih kuat, mendorongnya untuk mengungkapkan perasaannya dengan jujur.
Satang mengirimkan tautan ke ponsel Winny, memberikan akses ke beberapa bagian diary-nya yang berisi ungkapan perasaan saat dirinya mengagumi sosok Winny, 'Mas Gateng'-nya. Sementara itu, Winny masih tertidur pulas, membiarkan dirinya terlena oleh kesejukan udara Bandung yang memang sedikit lebih dingin.
Gemini dan Fourth juga masih terlelap di kasur bawah, menikmati hangatnya pelukan yang nyaman. Di dalam ruangan yang penuh kedamaian itu, Satang duduk sendirian, menyibukkan diri dengan pemikiran dan perasaan yang mengalir dalam diary-nya, sambil menunggu Winny dan teman-temannya bangun.
"Aku hanya bisa menatapmu kala terpejam dan aku hanya bisa memelukmu kala berbicara. Winny Pramudita, aku sudah lama ingin mendapatkanmu, dan segala yang tak aku tahu, kamu benar-benar mengejarku. Aku sangat bahagia, aku ingin kamu benar-benar bisa kuhadapi ketika terpejam dan bisa kupeluk ketika tertidur," demikian penggalan dari diary Satang untuk Winny. Satang membacanya kembali, wajahnya memerah, merasakan malu yang mendalam
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" ucap Winny tiba-tiba, membuat Satang terkejut. Wajahnya semakin merah, sedangkan Winny hanya tersenyum lembut, tatapan penuh pengertian.
"Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya membaca sesuatu yang membuatku merasa malu sendiri," jawab Satang dengan canggung, berusaha menyembunyikan kecanggungannya di hadapan Winny. Namun, senyuman Winny dan tatapan lembutnya membuat hati Satang merasa hangat.
Winny tersenyum hangat, menyingkap selimut tebal yang ada di atasnya, dan dengan lembut menarik Satang ke dalam pelukannya. "Mas," ucap Satang kaget, tak menyangka akan mendapat perlakuan tersebut.
"Aku kedinginan, Dek," ucap Winny dengan lembut, menggenggam erat tubuh Satang dalam pelukannya. Dengan lembut, Winny mengambil selimut dan menutupi keduanya, menciptakan kedamaian dalam kehangatan pelukan mereka.
Tak berhenti di situ, Winny kemudian mengecup bibir Satang dengan lembut, mengisyaratkan rasa sayang dan kehangatan yang terpancar dari setiap sentuhan. Momen itu, di bawah selimut yang hangat, di dalam pelukan yang penuh kasih, menjadi suatu kenangan yang akan terukir dalam ingatan Satang untuk selamanya.
[To Be Conntinued]

KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY : CAH AYU
FanfictionBab 25-30 akan di revisi! Mohon maklum saya udah lama gak pegang ini cerita jadi kemungkinan cringe😅 📍Winny Pramudita -- Satang Digarahmana