Diary 06

115 19 0
                                    

Semarang, Oktober 2023

Aku kasih tahu aja, ternyata dunia beneran sempit. Perasaan Fourth bilang, kalau dia jarang mengunjungi kampus. Entah apa maksudnya, tapi semenjak kejadian malam itu. Ada hal yang bikin aku cukup lega.

Aku melihat Winny, tidak sekali dua kali, tapi hampir setiap hari aku melihatnya. Bukan juga karena dia membeli kopi seperti yang Fourth katakan. Benar-benar seperti kebetulan yang disengaja, Winny akan berdiri di bawah pohon besar. Itu adalah tempat kita bertemu kemarin malam.

Sudah berjalan satu Minggu, dan dia masih tetap berdiri di sana setiap paginya. Oh ya, aku benar-benar terkejut. Dia, menyapaku terlalu sering. Ah, aku tidak ingin semakin melekat dengannya.

...

Indekost milik Satang adalah yang terbaik, indekost itu berada tepat di belakang tempat bermain boling, dan ada beberapa angkringan yang cukup ramai. Tapi, tempat disana cukup kumuh dan tidak terawat. Satang cukup sering mengunjungi tempat boling, bukan untuk bermain dia hanya akan menemui Gemini. Dia pemilik tempat itu.

"Hahaha. Dia benar-benar mengingatmu? Pasti ingat. Kejadian di tempat itu adalah yang terbaik. Pie carane? Kowe wae ora lali to?" suara ramai itu, menarik perhatian Satang.

Di angkringan, ada beberapa remaja pria yang sedang berkumpul. Apa yang mereka bahas, cukup membuatnya tertarik. Tapi, lambat laun dia mendengarkannya, ada suara yang begitu ia kenal. Winny.

"Temenan, niate ora mung tresno."

Sekali lagi, Satang benar-benar mendengarkan suara Winny dengan jelas. Satang berjalan dengan lambat, mencoba menahan untuk tidak mengeluarkan suara disana. Diam-diam dia mengintip dari balik kain yang menjadi penutup.

Winny berdiri, menyeka mata, dan terdiam sejenak. "Oke, aku ora ngerti apa maksud mu, tapi sek bener kui aku gak tresno karo bocah kae."

"Woilah, aku cuma ngasih nasihat. Dengar ya, kau harus sering-sering ngasih dia nasihat. Lagi pula, kalian terlalu terlihat. Coba saja, banyak pasang mata yang menatap kalian." Mark menyesap segelas susu hangat disana. "Namtan itu idiot. Yakin masih mau sama dia?"

Satang menatap mereka nyaris seperti penguntit. Satang beberapa kali masih menatap wajah Mark dan Winny yang saling adu pendapat. Mereka sedang membahas seorang gadis, namanya Namtan. Gadis itu cukup terkenal di fakultasnya.

Satang berbalik badan, dia meninggalkan tempat itu dan berjalan kecil menuju kembali ke indekosnya. Salah kalau dia tidak sakit hati. Tapi, bagaimana mungkin Satang merasakan sakit hati? Mungkinkah, dia memiliki perasaan untuk Mas Ganteng itu?

"Nggak mungkin." Satang menggelengkan kepalanya cepat. Dia menatap ke arah angkringan itu tadi sekilas, lalu berlari dengan cepat. Di depan indekost, ada pria tampan yang pernah membuat Satang jatuh cinta.

"Kak Win? Dari mana?" Win namanya.

"Oh, Satang. Habis nganter lauk buat Mick." balas Win dengan melihat kan satu paket rantang di tangannya. Satang mengangguk. "Kalau gitu, kakak pergi dulu ya."

"Ah, iya kak. Awas hati-hati, ada Om Bright di angkringan." -- "Satang!"

Dengan tertawa, Satang berlari menuju kamarnya. Dia menghela napas sejenak, wajahnya sedikit berkeringat. Suasana malam yang cukup ramai, ditambah dengan jadwal kelas kuliahnya yang di undur. Dengan senang hati, Satang mengambil ponselnya dan berjalan menuju belakang indekosnya.

Rumah dengan warna cream yang kuat dan abu-abu yang sedikit mencolok. Dia bisa melihat beberapa orang sedang tertawa dari balik jendela. Dan salah satunya adalah Fourth.

"Ya, benar!"

"Oke, coba tanya saja. Kira-kira seperti apa wanita yang dia inginkan?" -- "Dia tidak akan menjawab." Satang menimpali.

Beberapa orang disana, termasuk Gemini, menatap Satang. Suara itu berhasil menghentikan tawa mereka.

"Oh, kok diam? Apa aku ganggu nih?"

"Enggak! Kita kaget. Ada hal penting apa yang membuat ananda datang kemari?" ujar Fourth berjalan mendekat ke arah Satang.

"Bahasamu kui!"

Satang menanggapinya dengan tertawa, Fourth pun demikian. Satu tangan menyeret Satang untuk masuk ke dalam dan duduk disebelah Gemini. Satu kata saat menatap wajah Gemini, "Sadis amat bang."

"Bukan urusanmu."

Perkumpulan orang-orang itu, kembali melanjutkan pembicaraannya yang sempat tertunda. Beberapa kali Satang tidak memahami alurnya, tapi dia sedikit menangkap tentang Captain yang mencampakkan kekasihnya.

"Oh, yang benar saja. Aku tak mencampakkannya! Saat itu memang sedang hujan, dia kuliah dan aku menunggunya di kafetaria. Semuanya baik bagiku, tidak ada pertengkaran yang penuh drama atau sampai banjir air mata." Captain mengusap rambutnya. "Aku bahkan masih sangat menyukainya hingga sekarang."

"Jadi, gagal move on ceritanya?" goda Satang.

"Bukan gitu!" -- "Oh ayolah Captain, dia sudah menikah. Jangan menyesali perbuatanmu sendiri."

Captain cukup kesal mendengarnya, dia berdiri memandang beberapa wajah itu dengan remeh. "Sialan! Aku akan pergi."

Mendengar itu, mereka semua tertawa. Termasuk Gemini yang begitu kaku, dia tertawa walau bagi Satang, cukup menakutkan.

"Satang! Dicariin Mick!" teriak Captain begitu dirinya pergi meninggalkan rumah Fourth.

Satang bergegas keluar, dia memandang Mick dengan seksama. "Ah, Mick ada yang bisa kakak bantu?"

"Itu, ada yang nyariin kak Satang. Mas Winny namanya." ungkap Mick.

"Mas Winny?" tanya Satang memastikan.

"Iya."

Setelahnya mereka berjalan meninggalkan rumah Fourth tanpa permisi. "Kalau gitu, Mick kembali ke kamar dulu ya, kak?" -- "Oke."

Satang berjalan kembali kedepan, melewati beberapa kamar dan mendapati pria tinggi itu berdiri didepan gerbang. "Mas Winny?"

"Dalem cah ayu?"

[To Be Continued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang