Diary 13

142 19 2
                                        

Mata itu sayu, bibirnya bergetar pucat. Suhu tubuhnya naik dalam sekejab. Keadaan yang membuat Satang sama sekali tidak bisa beraktivitas. Dia ingin menghubungi Fourth, tapi dia bilang, Gemini akan membawanya liburan. Berakhirlah Satang diranjang indekostnya tanpa bisa melakukan apapun. Rasanya sakit sekali, badan menjadi ringkih dan mudah sakit. Sepertinya, ada satu nomor yang harus ia hubungi.

[Mas, sibuk? Bisa ke indekost ku sebentar?]

Tangannya pun amat bergetar, pandangannya sedikit agak buram dan air mata berlinang karena suhu badannya yang panas. Winny tak merespon, tapi dia segera berangkat ke indekost. Mengendarai mobilnya dan melaju dijalanan yang cukup ramai karena weekend, sedang Satang kembali memejamkan matanya karena tak sanggup menahan pusing dan suhu tubuhnya.

Tak berselang lama, mobil itu terparkir di halaman indekost. Beberapa anak-anak menyapa Winny, ya mereka mengenal Winny karena sering nongkrong diangkringan depan. Bahkan Mick saja cukup akrab dengannya, juga karena sikap Winny yang ramah dan merangkul orang lain.

Didepan pintu, Winny menunggu, beberapa saat dan dirinya memberanikan untuk membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Winny berjalan kedalam, melihat rumah yang berantakan dan dokumen-dokumen perkuliahan tercecer dimana-mana. Selangkah lagi Winny berjalan, dia menatap Satang yang tertidur. senyum itu terlukis dari bibir Winny.

"Tidur rupanya?"

Winny mengambil barang-barang berceceran di sana, dirinya mendekat ke arah Satang yang tidur. Suhu badannya menganggetkan Winny, dia tidak sadar jika Satang sedang demam dan suhu badannya yang begitu tinggi. "Astaga, kenapa nggak bilang sih?"

Winny membenarkan tubuh Satang yang hampir jatuh dari ranjang, senyum yang terlukis tadi, kini sudah berubah menjadi perasaan yang khawatir. Kekhawatiran itu  membuat Winny tak mengerti harus melakukan apa. Dia menatap baskom kecil yang berisi air disamping pintu menuju kamar mandi. Terlihat meyakinkan, Winny mengambilnya mengisi dengan air hangat dan kain yang dia dapat dari kamar mandi.

Dia duduk disamping menghadap Satang, tangannya kembali mencoba mengcek kening Satang. Suhunya tidak menurun, dia mencelupkan kain itu ke baskom berisi air hangat, memerasnya dengan kuat dan menyeka tubuh dan wajah Satang secara pelan. Gerakan itu terlampau halus untuk Winny yang tak pernah bisa pelan-pelan. Dia melepas baju Satang, memperlihatkan tubuhnya yang putih dan bersih. "Gila."

Winny menelan ludah dengan kuat, dia menyelesaikan sekaanya dengan cepat dan kembali memakaikan baju untuk Satang. Selesai dengan itu, dirinya membiarkan baskom itu disamping tempat tidur. Dia berjalan mencari sesuatu yang mungkin bisa mengganjal perutnya.

"Kulkas nya saja kosong, beli keluar saja deh." ungkap Winny setelah berkeliling didapur kecil itu.  Dirinya menatap Satang cukup lama dengan berdiri dibahu pintu. Kemudian mengambil kunci mobil dan meninggalkan indekost Satang untuk mencari makanan.

Tak berselang lama, setelah Winny meninggalkan indekost, Satang terbangun. Dia menatap kesamping dan melihat baskom kecil yang biasa dia gunakan untuk mencuci kaki ada disana, ditambah kain yang biasanya ia gunakan untuk menggosok daki dipunggung, terselip di antara meja kecil. "Kok disini?"

Keadaan Satang cukup membaik sekarang, dia bisa berdiri dengan aman. Walau suhu badannya tak ada penurunan, Satang memilih untuk berjalan ke kamar mandi dan membersihkan badannya. Dia menggunakan air dingin, dengan harap suhu tubuhnya bisa sedikit mendingan. Kepalanya pusing, perutnya keroncongan. Dia menahannya cukup lama.

"Aku pulang."

Suara itu, menghentikan suara kran kecil di kamar mandi. Satang mencoba mendengar dengan baik-baik. Tapi, tidak ada yang ia dengar selanjutnya dan Satang kembali meneruskan mandinya. Winny terdiam, dia tak melihat sosok Satang di ranjang. Ada perasaan khawatir yang datang, namun dibalik pintu kamar mandi ada suara gemricik air, yang tanpa Winny pastikan itu adalah Satang.

"Kenapa mandi? Kamu kan masih sakit?"

Begitu Satang keluar dari kamar mandi, dengan itu membuat Satang terkejut bukan main. Dia melihat Winny yang sudah membersihkan kamarnya dan menyiapkan meja kecil ditengah karpet, diatasnya berisi beberapa makanan dan minuman. Satang hanya diam menatap, Winny bangkit dan menuntun Satang untuk duduk.

"Kenapa mandi sih? Nanti tambah sakit." ujar Winny, Satang menggeleng kecil dia masih diam. "Engga kok."

Walaupun begitu, rasa pusing itu masih terasa. Winny menyodorkan sesendok nasi ke mulut Satang. Dengan enggan, dia membuka mulutnya. "Makan yang banyak, biar cepat sembuh. Kenapa tadi nggak  bilang kalau sakit? Kan Mas bisa ke sini lebih cepat."

'Mas' pikir Satang, sedikit lucu menyebutkan. Tapi, ada senyum tulus yang hadir disana. Satang mencoba menelan nasi itu, ada rasa sakit yang ,emjalar ditenggorokannya. "Nih, minum. Satang, aku khawatir sama kamu."

Satang melihat wajah serius disana, sorot mata yang meyakinkan terlihat. Satang menggeleng pelan dan berusaha menjawab dengan suaranya yang serak. "Kenapa mas harus khawatir sama aku?"

Mendengar itu, Winny melepas sesendok nasi yang akan ia suapkan ke Satang. Sendok itu bersandar dibahu piring, sedang Winny menatap wajah Satang dengan serius. "Mas khawatir sama kamu. Kamu disini sendirian, siapa yang akan jaga kamu kalau sakit kayak gini lagi?"

Satang menggeleng kecil, "Nggak ada."

Winny, menghela napas kecil, dia mengusap pelan surai basah Satang. "Sekarang, makan yang banyak ya? Aku nggak mau lihat kamu sakit kayak gini lagi. Mana wajah Satang yang ngeselin itu?" ujar Winny diselingi tawa kecil di akhir katanya. Satang cemberut. "Mana ada aku ngeselin."

Winny tersenyum dan menggeleng, dia kembali mengambil sesendos nasi dan menyuapkan ke Satang. Sesekali Winny bermain dengan rambut basah Satang.

[To Be Conntinued]

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang