Diary 03

242 25 2
                                        

Rasanya sangat lucu saat orang asing yang baru saja dikenal, menjadi akrab dalam sekejap mata. "Habisin es jeruknya."

"Ya. Aku tidak akan menyisakan sedikit pun makanan. Ya ampun." tidak ada alasan lain bagi Satang selain menurut dengan apa yang Winny ucapkan. Semakin lama Satang merespon, semakin banyak pula percakapan yang tak sekalipun ingin Satang dengar.

Mata Winny seperti mengabur, melihat Satang minum dengan sekali teguk. Setelah meletakkan gelas dimeja, deru nafas yang memburu dari Satang terdengar jelas di telinga Winny. Matanya terpejam, bibirnya terkulum sesaat dan setelah itu wajahnya melongo ke arah pintu.

Bukan kali pertama. Pria itu merasakan sesuatu yang bodoh.

"Oh ya, mau tambah kafein?"

Satang tak kuasa menahan diri. Ia menoleh ke arah Winny, matanya menyipit lucu seperti kebanyakan anak kecil yang belum bisa memastikan benda apa didepannya, atau orang tua yang sudah tidak bisa melihat jelas lubang benang di jarum. Pria itu benar-benar konyol, Winny hanya tersenyum tak tahu malu.

Setelan biru muda, kaos oversize putih dan kalung rantai. Winny merasa dirinya cukup baik dilihat. Bagi Satang, tidak sama sekali. Wajahnya yang putih cenderung pucat, membuatnya seperti mayat hidup yang bisa berjalan dan menghabisi otak-otak tikus berdasi.

"Mas ganteng, udah mau pagi." Satang mengemas barang yang dia jadikan selimut kecil. Ya, angin dini hari cukup membuatnya menggigil hebat.

"Tenan. Mas ganteng to. Hahaha."

Bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap waktu, bahasa Jawa itu terlalu melekat. Sedang Satang hanya bisa menangkap beberapa kata yang cukup familiar dengan telinganya.

Winny yang berdiri di balik pembatas antara dapur dan ruang makan, terdiam menatap Satang, kedipan matanya melambat. Winny tersenyum, seolah dirinya sudah terbiasa dengan hal itu. Yang bisa dibilang, mereka baru saja bercengkrama kurang dari sepuluh jam.

"Bisa pesan es kopi, bu? Sama sebungkus roti yang itu." nada suara Winny yang selalu ia gunakan untuk menggoda, seolah berubah menjadi manis dan lebih lugas.

"Bungkus semua?" -- "Iya.",

Setelah membayar semua tagihan, dirinya bergerak, berbalik dan kembali menatap Satang yang bergulat dengan ponsel. Sepertinya seseorang sedang menghubungi pria polos itu. "Kalau saja nggak kurang, udah kabur pasti."

"Tak anter ya." Winny memulai aksinya kembali, membuat isyarat dengan alisnya. Satang berkata tanpa suara, "Gak perlu!"--"Kenapa?"

"Udah sampai. Makasih traktirannya."

"Siapa?" Satang tidak mendengar itu, dia bergegas pergi begitu saja. Setelah dirinya tahu bahwa sedang ditraktir. Satu hal yang membuatnya cukup sungkan untuk berbicara dengannya lagi.

Jadi, Satang berpura-pura seseorang sudah menjemputnya. Dia tidak benar, bahkan dia tidak memiliki kenalan dekat disini. "Senang bertemu denganmu."

Kalau saja masih didepan pria itu, Satang yakin akan mendengar kata 'Mas Ganteng' untuk ke sekian kalinya. Memaksanya untuk menggunakan nama yang tidak lulus sensor menurutnya.

Satang berjalan melewati beberapa halaman besar. Gang kecil yang berisik dan becek. Jujur saja, Satang dulu tinggal di indekost gang itu. Memang, sebelumnya karena finansial yang cukup. Tapi, setelah bisa mengendalikan keuangannya, Satang memilih untuk mencari indekost yang lebih jauh.

Winny Pramudita dan beberapa jam bersama pria itu merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hidup Satang. Dia membaca kartu nama Winny selepas mereka tidur dikereta. Lucu memang, tapi mengetahui nama lengkap satu sama lain, adalah hal baru lagi.

"Kucingnya dek."

"Maaf, alergi."

Dia masih mendengar suara orang mabuk dan bertingkah aneh. Oh, ya, Satang masih berdiri didepan beberapa gang yang penuh sesak itu.

Satang harus menghalau gejolak hormon nya dan tetap bersikap logis. Ya. Dia sangat mengantuk. Tapi, perjalanan ke indekosnya benar-benar jauh.

Winny mengejar dengan berlari kecil, "Satang. Tinggal beberapa saat dulu. Ini masih terlalu pagi, belum ada kendaraan yang melintas sekitar sini."

"Ini ramai tolong. Kamu bisa cek dulu mata kamu, optik masih buka." -- "Cah Ay-"

"Nama aku Satang. Bukan cah ayu." Satang kembali berjalan, meninggalkan Winny yang berbeda beberapa langkah disana. Udara dingin menyambut kehadiran mereka dengan sangat meriah. Satang mengeluarkan jaket kulit dari tas kecilnya. "Kirain gak bakalan berguna."

Bunyi klakson mobil membekas ditelinga Satang. Si pria sok kegantengan itu sudah menghilang dari pandangannya. "Masa lalu." pikirnya.

Memang, Satang merasa tidak terlalu asing dan wajah-wajah yang berkeliaran di pikirannya, tak ada satupun yang cocok untuk dijadikan acuan pemilihan. Satang frustasi beberapa saat.

"Dibilang naik, malah bengong. Kowe meh bali ora? "

"Udah deket kok." alasan.

"Yawes, aku duluan yo cah ayu!"

Mobil itu melaju lebih dulu. Seperti taksi, tapi terlalu pribadi.

"Namaku Satang!"

Satang berdiri sendirian didepan gang itu. Gelap, tapi tidak terlalu sepi. Masih banyak pemuda yang berlalu lalang dibelakang. Ya, mabuk.

[To be continued]

"Kata mas ganteng biar bisa mantau dari jauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kata mas ganteng biar bisa mantau dari jauh."

DIARY : CAH AYU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang