Chapter 11 - The Exit

814 161 55
                                    

"Permisi!"

Zoe berusaha melewati lautan mahasiswa di fakultasnya yang keluar bersamaan begitu waktu middle test berakhir. Dari sekitarnya, Zoe bisa mendengar mahasiswa yang merengek mengatakan malas berdiskusi tentang ujian yang baru terlewati, tapi kemudian nimbrung penasaran atas jawaban teman-temannya.

Ada yang mengeluarkan fever patch untuk ditempelkan di dahi mereka, berkata perlu ini agar kepalanya yang keburu panas bisa dingin dengan segera. Tapi ada juga yang terlihat biasa saja, mungkin karena ujiannya diganti dalam bentuk projek atau memang diberi kesempatan untuk buka buku.

Apapun itu, rasanya Zoe menelan ludahnya melewati tenggorokan yang sakit akibat tercekat. Ia buru-buru meninggalkan Keisha dan Vania yang juga mengambil kelas yang dipenuhi adik tingkat itu, mengatakan sebentar lagi dirinya akan dijemput oleh Asher.

Memang benar, tapi selain itu Zoe juga takut ia akan berakhir menempelkan dahinya di pundak sahabat-sahabatnya, lalu aduan tentang apa yang Asher lakukan keluar begitu saja.

Zoe takut orang sekitarnya tahu, lalu berakhir membenci Asher. Karena ia percaya mereka masih bisa berakhir bersama.

Seperti ini misalnya, Zoe pada akhirnya kembali pada rutinitas hubungannya dengan Asher. Berusaha melupakan apa yang ia ketahui, memberi tahu diri bahwa semua baik-baik saja.

Karena pada akhirnya, semua bisa sembuh, dan mungkin dirinya bisa menjadi sosok yang membuat Asher lupa sepenuhnya. Cuma merombak beberapa hal, dan Zoe kira semua bisa dimulai dengan melupakan hal menyakitkan tersebut.

Langkahnya masih berjalan dengan tergesa. Terdiam ragu ketika netranya mendarat pada Asher yang sedang meminum kopi di kafetaria fakultas mereka, berbincang-bincang pada mahasiswa tua program studi mereka yang masih senang mengabdi pada organisasinya.

Ada Gavin, ada Sean, juga Asher disana.

Zoe semakin punya keinginan untuk beringsut mundur saat melihat Sean, yang tadinya tertawa, langsung memudar hanya karena netranya melabuh pada Zoe.

Tatap yang Sean beri tampak was-was. Berkali-kali melihat Zoe juga Asher bergantian. Dari situ saja, Zoe tahu apa yang pria itu pikirkan.

Sudah pasti, Sean mengira kalau hubungan Zoe dan Asher sudah berakhir, seperti semestinya.

Apa yang bisa diharapkan jika Sean sendiri menjadi saksi bagaimana terguncangnya Zoe hari itu? Pasti ia mengira semuanya berakhir antara mereka.

Tapi belum sempat kabur, panggilan Asher pada dirinya yang keluar dengan lantang memecah kekhawatiran yang terbagi antara Sean dan Zoe.

"Sayang!"

Wajah Zoe memerah dengan segera. Banyak orang melirik dengan berbagai ekspresi, ada yang seperti menahan geli karena unjuk kasih sayang lewat lisan, ada juga yang terlihat jengah karena stres ujian ditimpa dengan melihat kelakuan orang kasmaran yang tidak tahu malu.

Mungkin rona di wajahnya dianggap malu yang menggemaskan. Tapi sebenarnya muncul karena ekspresi Sean yang menatapnya seakan tak waras, layaknya Zoe adalah sosok asing yang memiliki tanduk di kepalanya.

Bibirnya terbuka, terperangah, semakin buruk saat Zoe benar-benar melangkahkan kaki mendekati mereka.

Gavin sudah tersenyum, mengangkat tangan mengajak berjabat tangan.

Gestur itu membuatnya bersyukur. Karena rasanya seperti undangan interaksi yang bisa membuatnya menghindar dari tatap Sean yang menghakimi.

"Selamat Zoe." Ucap Gavin sesaat setelah jabatannya dibalas. "Selamat karena menjalani Ujian Akhir Semester ke delapan kalinya selama jadi mahasiswa. Satu kali final lagi, dan lo bisa kabur dari tempat mengerikan ini."

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang