Chapter 19 - The State Where Everything Feels Like It's True

987 187 56
                                    

"You know Zoe? Please visit the kids here. They love you."

Saat ini Zoe sedang duduk di ruangan yang disediakan untuk ketua Yayasan yang menaungi sekolahan ini. Dimana harusnya Kakek Budi, tetapi karena kakeknya sedang melimpahkan otoritasnya pada Kenzo, maka disinilah pria itu berada.

Dengan baju formalnya, tersenyum tulus, matanya melengkung membentuk bulan sabit. Zoe jadi ingin membalasnya.

Di hari Jum'at, setelah kelas pagi, Zoe pergi ke rumah Kezia untuk menyelesaikan proposal proyek ujian akhir mereka. Dan setelahnya, beberapa waktu setelah makan siang, Zoe kembali pergi ke sekolah untuk menemui orang tua sebagai narasumber terakhirnya.

"Makasih banyak buat kesempatannya. Penelitiannya jadi bisa rampung karena banyak dibantu." Ucap Zoe lagi.

Kenzo baru saja menandatangi beberapa dokumen, seraya merapihkan kertas-kertas dan menjadikannya satu, ia mulai berdiri.

"Nanti ada rencana mau ke Bogor lagi?" Tanya Kenzo langsung, menanggapi ucapan Zoe sebelumnya hanya dengan anggukan saja.

"Sekarang belum ada rencana." Zoe berkata, lalu ia jadi teringat cerita Kezia saat pertama kali dirinya berkunjung.

Cerita tentang bahwa yayasan keluarganya selain menaungi Sekolah Luar Biasa, juga membangun Senior Living di Bogor.

"Kezia cerita, katanya keluarga kamu handle Senior Living juga di Bogor. Tempat nenek itu ya?"

Kenzo langsung tertawa mendengarnya. "Iya, tapi nonno selalu gak mau ketahuan kalau dia yang punya. Waktu pertama kali nonno mulai bergaul sama Nenek Dessy dan yang lain aja, dia langsung suruh saya buat nurunin foto dia di lobi."

Di lobi tempat berkumpulnya orang tua itu memang ada dinding dimana tulisan founder dengan plat emas tertempel. Tapi tak ada foto apapun dibawahnya, ternyata karena Kakek Budi enggan ketahuan.

Zoe jadi bisa menilai bahwa keluarga Kenzo terdiri dari orang-orang yang begitu rendah hati.

"Your family consist of very admirable people." Pujinya tanpa bisa menahan diri.

Kenzo, Kakek Budi, juga Kezia sudah memperlihatkan kualitas lingkungan dimana keluarganya tumbuh.

Zoe mengikuti pergerakan pria itu, bagaimana Kenzo kini duduk di kursi tunggal yang berada cukup dekat dari sofa panjang yang ia duduki.

Kenzo membuka telapak tangannya, menunjuk Zoe sambil tersenyum kecil. "Harus berusaha memantaskan diri kalau mau ditemukan sama orang yang mengagumkan juga."

Lagi-lagi Zoe dibuat kagum dengan cara Kenzo bicara. Pria itu seakan menjadi bentuk nyata dari pribadi yang memiliki self-esteem yang tinggi, tak perlu baginya memberi hembusan ego sambil merendahkan diri, tak perlu juga baginya memandang orang lain dengan dagu terangkat tinggi.

Kenzo bisa menerima pujian, sambil menghargai baik dirinya ataupun yang jadi lawan bicara.

Zoe merasa bersyukur diberi kesempatan bertemu dengan Kenzo disaat dirinya rentan dengan paparan berbagai perasaan negatif saat ini.

"Oh iya, Zoe. Kamu ada rencana mau pergi ke Bogor?"

"Belum ada sih sejauh ini, kamu mau kesana?" Tanya Zoe.

"Iya, rencananya saya mau berangkat ke Bogor minggu depan, dan stay disana dari hari jum'at sampai minggu. Mau bareng?" Tanya Kenzo.

Menghabiskan waktu bersama Kenzo tentu menyenangkan, apalagi jika ke Bogor untuk menemui Nenek dan teman-temannya yang selalu membuat Zoe terhibur.

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang