Chapter 29 - The Chance of Never Knowing (What Could've Been)

2.4K 238 73
                                    

Pertanyaan yang paling sering muncul dalam pikiran Zoe adalah,

"Kapan semua ini akan berakhir?"

Tampaknya tiap tarikan nafas, ataupun tiap detak dari jantungnya, Zoe mengulang pertanyaan yang sama.

Tapi, hitung mundurnya benar-benar akan berakhir, Zoe menemui dirinya menangis lagi. Kembali ke nol lagi.

Ia pun tak mau seperti ini, hidup dengan konflik yang terus-terusan terjadi di kepala juga hatinya. Tahu persis apa yang idealnya ia lakukan, tapi selalu punya keinginan yang berkebalikan.

Seperti yang ia lakukan saat ini, Zoe tahu memberi album foto ini kepada Asher adalah persamaan dari lambaian perpisahan.

Tapi, di kamarnya yang terasa lebih dingin ini, Zoe berkali-kali harus menyapu matanya yang tak berhenti mengeluarkan tangisan. Bibirnya pun ia paksa untuk tertutup rapat, seraya tangannya membalik halaman demi halaman album foto ini.

Mau dilihat bagaimanapun, foto-foto ini terlihat penuh dengan cinta. Meski Zoe tau, mungkin semua cinta datang hanya dari sisinya.

Nafas tersendat-sendat coba ia tarik, bibirnya terbuka lebar sambil melihat ke langit-langit kamarnya.

Perasaan sakit ini buruk sekali. Kalaupun Zoe mempunyai musuh yang paling ia benci di dunia, tak juga dirinya temui rasa tega untuk berharap musuhnya merasakan hal yang sama.

Pedih seperti itu yang ia rasa.

Perlahan Zoe tutup kembali album foto itu. Menaruhnya pelan ke meja samping tempat riasnya. Lalu kembali memandang cermin di hadapan, meyakinkan diri kalau dunia akan terus berputar, dan Zoe masih harus mengikuti gerak putaran dunia.

Tak peduli jika ia harus dibuat terseok-seok. Menangisi malang nasibnya.

Zoe dibuat kesulitan mempersiapkan diri. Mencolek produk kecantikan untuk dipoleskan di wajah, air matanya meluncur begitu saja, membuat Zoe harus mengambil tisu dengan cepat sebelum kembali membubuhi wajahnya dengan riasan.

Seperti itu berkali-kali, kadang Zoe harus menutup kedua matanya dan membiarkan diri terisak, lalu menyeka air mata yang turun dengan sedikit kasar, seakan sudah membulatkan tekad.

Mengambil tas yang perlu ia bawa, Zoe membenahi tasnya dengan pundak bergetar akibat tangisan, tangannya masih perlu memasukkan berbagai macam barang yang perlu ia bawa untuk menghadapi hari.

Entah sudah berapa banyak tumpukan tisu diatas meja riasnya saat ini.

Matanya masih terasa berat saat pintu kamar Zoe dibuka oleh Susan, ibunya. Perempuan itu sempat membeku sebelum diam-diam kembali meraih tisu lalu menyeka matanya yang meski tak basah pun akan terasa terus-terusan lembap.

Susan membuka pintu kamar Zoe tanpa mengetuk lebih dulu. Sebuah kebiasaan tiap kali perempuan paruh baya itu ingin mengadu tentang hati yang terluka atas perilaku Gerald, ayah Zoe.

Biasanya, Zoe akan segera berbalik, menarik ibunya dalam pelukan, lalu mendengar semua cerita yang disampaikan dengan tersedu-sedu.

Tapi tidak kali ini, ia masih duduk tepat di hadapan meja riasnya. Membiarkan sang ibu mengeluarkan keluhan demi keluhan, cerita demi cerita, sedang Zoe terdiam di tempat dengan rasa marah.

Zoe merasa begitu marah untuk mendengarkan cerita ibunya pagi ini. Cerita yang sama diulang berkali-kali, membuatnya heran kenapa ibunya masih menangisi hal yang terjadinya tidak hanya satu kali, bahkan setelah banyak waktu terlewati.

"Ini bukan sekali, kenapa mamah masih nangis dan heran kalau papah ngelakuin hal kayak gitu? Bukannya mamah sudah tahu kalau itu adalah hal biasa dari papah? Terus kenapa masih nangis? Mamah yang pilih untuk tetap disini kan?" Tanya Zoe setelah mendengar semuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang