Sepanjang ia hidup, Asher jarang menemui situasi yang mengharuskannya menundukkan kepala, terlihat patuh.
Waktu ia kecil misalnya, kepala menunduk sembari wajahnya penuh air mata menyesali kelalaian yang berakibat kehilangan bekal makan di sekolah.
Satu contoh lain adalah saat ini.
Asher yang dilehernya tergantung id card berisi informasi nama serta departemen tempat ia bekerja, berdiri sambil sesekali menunduk.
Sisa waktu yang lain Asher gunakan untuk mengelilingi ruangan ini dengan matanya. Senyum terbit saat melihat ada meja khusus miniatur juga lego yang sudah di rakit oleh tangan mungil Asher kecil dulu.
Memang pria tua yang sedang membaca surat yang Asher ajukan ini adalah ayahnya sendiri. Tapi saat ini, setting profesional mereka adalah staff dan CEO perusahaan.
Ketika Lukas, ayahnya, mendongak. Asher langsung menunduk menunjukkan hormat. Matanya berlabuh pada sepatu kerja berwarna hitamnya yang hampir melebur dengan karpet berwarna gelap di ruang kerja ini.
"Buat alasan apa jadi kamu ambil libur besok?" Dengan kacamata yang kini bertengger diatas kepala, juga kertas berisi permohonan ijin Asher, Lukas mulai bertanya.
"Saya dapat jadwal sidang yang akan dilaksanakan besok, sir."
Aroma ruangan ini tak pernah berubah. Wewangian yang digunakan adalah apa yang biasa Asher cium saat menemani ibunya konsultasi di klinik kecantikan. Ia hampir tertawa saat sadar bahwa kemungkinan besar, ibunya juga yang memilih aroma ruangan ini.
Tapi untuk apa juga ia takut keluar dari ranah profesional, saat Lukas, tiba-tiba berubah jadi mode ayahnya.
"Beneran kak? Besok sidang?"
Ragu-ragu Asher mengernyitkan ujung bibirnya, gigi mulai menggertak karena takut salah bicara, meski pada akhirnya ia ikut keluar dari ranah profesional saat melihat wajah menunggu Lukas.
"Iya, Pi. Besok sidang."
"Tiba-tiba banget dong?"
"Emang kayak gitu sistem kampus. Aku padahal udah lama submit permohonan sidang, tapi baru dapat jadwal sekarang. Untungnya udah matang banget persiapannya."
"Bagus lah. Terus Zoe gimana? Sidang juga?"
Zoe.
Mendengar nama kekasihnya disinggung membuat senyum merekah mudah dari bibirnya. Asher penasaran apa matanya ikut memancarkan jantung yang berdetak kelewat cepat saat ini.
Saat sadar bahwa Zoe adalah orang yang Asher cinta. Seluruh pandangnya dengan cepat terasa berubah, begitu juga warna yang terasa lebih semarak.
Asher tampaknya harus memukul wajahnya sendiri, merasa geli dengan perasaan bahagia sebesar ini, padahal tidak jarang nama Zoe hilir mudik di telinganya.
"Kita dapat jadwal yang sama. Malah Zoe lebih pagi."
"Bisa kebetulan gitu ya?"
"Padahal, skripsi kakak lebih duluan selesai daripada Zoe. Gak tau tuh kenapa anaknya jadi cepat banget progresnya." Ucap Asher, lalu kemudian ia teringat rencana berlibur keduanya.
"Mungkin karena kakak janjiin liburan kalau kita berdua sidang."
"Perasaan kakak pernah bilang gak mau liburan sama pacar kecuali hubungannya serius. Liburan itu big deal loh ya, papi gak bolehin kalau pacarannya masih main-main."
Asher kira seperti banyak orang lainnya, ia juga merasakan hal yang sama. Saat satu topik mulai diangkat, entah kenapa pembicaraan tentang hal yang sama mulai bermunculan dari berbagai sisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown
Teen Fiction"if you're lucky enough, red invisible string tying both of you together. But again, not everyone got luck handed to them."