Zoe penasaran, dimana dirinya satu tahun dari sekarang?
Apa sudah benar-benar sembuh sampai bisa menertawakan segala macam kebodohan yang ia lakukan. Kebodohan seperti saat ini, ketika Zoe yang begitu naif ini menunduk sambil menulis di buku catatan kecilnya.
Tahu kalau Sean yang duduk di sebrangnya sedang menumpu wajah. Dari waktu ke waktu akan melihat sekeliling karena waspada.
"Jadi, Bella bakal pulang sekitar tiga bulan lagi?" Tanya Zoe memastikan.
Sean mengangguk, menarik tisu yang berada di ujung meja kayu di kafe yang sunyi ini tepat diantara mereka. Jaga-jaga jika Zoe akan menangis lagi seperti biasa.
"Iya, rumah Bella itu satu komplek sama gue by the way. Dan waktu semua keluarganya pindah, rumahnya gak pernah dijual, cuma disewain buat bisnis kecil. Kebetulan gue sering ngobrol sama karyawan disana waktu makan bakso keliling, ternyata katanya harus pindah karena gak bisa perpanjang sewa lagi. Yang punya mau pulang, gitu katanya."
Mendengar penjelasan Sean, Zoe sempat tertawa sambil membawa tangannya menulis rangkuman dari apa yang pria itu siapkan.
Buku catatan kecil yang padahal sebelumnya penuh dengan rencana-rencana kencan untuknya dan Asher, kini akan dipenuhi dengan rencana hitung mundur dari Zoe.
"Lo udah ikhlas banget?"
"Apanya?"
"Ini, ngelepas Asher. Bahkan sampai mau tau kapan Bella datang, kan bisa aja itu sakit banget, Zoe."
Zoe mengangguk, melipat tangannya di depan lalu tersenyum ketika sadar bahwa hanya pandang iba juga khawatir yang Sean beri padanya.
"Bukan cuma bisa aja, tapi emang sakit banget."
"Terus kenapa masih ngelakuin ini dong? Mungkin ini ide yang buruk, Zoe."
Sean bicara dengan hati-hati, terlihat takut menyinggung perasaan Zoe yang saat ini terasa serba salah.
"Sean, hubungan gue sama Asher harus berakhir dengan satu cara atau lainnya. Tapi sebelum itu selesai, gue gak mau cuma ingat pahitnya aja, biarkan gue jalani tiga bulan tersisa sama Asher dan punya kenangan baik sama dia. Kali ini apa adanya dan gak ada kebohongan lagi. Sekaligus kasih pelajaran berarti buat Asher nanti."
"Pelajaran berarti?"
"Iya, pelajaran kalau punya orang yang sayang, tulus, dan keren seperti Zoe ini bukan hal yang bisa di dapat dengan mudah. Gak seharusnya dijahatin kayak gini." Zoe memberi senyum sedih.
Sean mengambil nafasnya, terlihat penuh dengan pikirannya sendiri sebelum mengangguk.
"Gue percaya kalau lo bisa handle semuanya. Masalah gue agak kasar kemarin, maaf ya, kebawa kesel." Ucap Sean, lalu bertepuk tangan dengan wajah penuh setuju, "Seharusnya gue tau kalau Zoe gak mungkin lama-lama kayak gitu."
Kepercayaan yang Sean berikan terasa seperti apa yang perlukan saat ini. Sebelum Zoe membalas tatap humor itu, lebih dulu ia cek waktu yang tertera di ponselnya.
"Gue seneng banget bisa ngomong sama lo hari ini."
"Bohong, orang topiknya pahit juga." Potong Sean langsung, membuat Zoe memutar bola matanya. Usaha basa-basi dibuat sia-sia.
"Sean, gue cuma mau ingetin lo kalau bentar lagi jam dua. Yang artinya, lo harus di kampus sekarang kan? Buat monitor acara BEM itu?"
Cepat-cepat Sean ikut memerikan ponselnya. Lalu menghirup minumannya dalam satu tarikan, seraya memegangi tas ransel yang ia bawa erat-erat.
"Oke, gue pergi sekarang ya, Zoe! Tetap semangat, curi-curi nangis juga gak papa. Gue sambil monitor juga progres pulangnya Bella, juga silahkan buka akun twitter gue yang kemarin. Kali aja mau lihat cuitan Asher sekarang gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown
Ficção Adolescente"if you're lucky enough, red invisible string tying both of you together. But again, not everyone got luck handed to them."