Chapter 9 - When Zoe's Ground More Unsteady

1.2K 195 68
                                    

Rasanya mau mati.

Tidak ada yang bicara lebih banyak tentang kejadian yang Zoe baru alami. Mungkin, dari sekian banyak orang di dunia, Zoe terpilih menjadi si malang yang harus menanggung perasaan menyakitkan ini sendiri.

Pikirannya kacau, tapi tak ada yang seimbang dengan perasaannya saat ini. Kepingan kaca yang berhamburan membuat Zoe terdiam di tempat, pergi ke arah manapun rasanya menyakitkan.

Zoe harap, ada seseorang yang dengan suka rela bercerita tentang kemungkinan bahwa rasa paling sakit datangnya dari orang yang paling kita cinta. Seperti Zoe yang begitu percaya diri menaruh semuanya di tangan besar Asher, lalu terdiam tak tau harus apa saat pria itu punya kekuatan yang sama untuk menghancurkannya.

Dengan tangan yang sama, Asher hancurkan seluruh bagian dari Zoe.

Zoe kira kemarin adalah hari yang paling buruk. Tapi bangun pagi ini jauh lebih buruk, mungkin karena ia bingung, mungkin karena Zoe tau ia tidak akan mendapatkan pesan panjang yang menunjukkan rasa menyesal Asher.

"Maafin aku Zoe, aku bersalah."

Bahkan jika dirinya mendapatkan pesan itu pagi ini, perasaannya juga tidak akan baik. Karena Zoe sudah terlanjur menelan pahitnya kenyataan, dibuat histeris karena hatinya di sayat tanpa ijinnya, lalu setelahnya dibubuhi bayangan kalau semuanya adalah nyata selayaknya garam diatas luka.

Perih ini tak akan hilang. Zoe rasa, ketika ia mengambil nafas terakhirnya pun, yang ia akan rasakan hanya dadanya yang terhimpit nyeri. Lalu ia akan tersenyum karena akhirnya mimpi buruknya berakhir.

Kenapa Zoe membiarkan Asher membuatnya merasa seburuk ini?

Bibirnya bergetar lagi, hanya bisa mengeluarkan suara isakan. Tidak ada tempat untuk dirinya mengadu, Zoe sampai harus menutup mata dan bibirnya bersamaan untuk menghentikan suara nyaring itu mengisi udara.

"Ibu Zoe?"

Seorang perawat menghampirinya, membuat Zoe harus mengintip dari sela lengannya yang ia buat menutup matanya daritadi.

"Administrasi keluar dari rumah sakit sudah bisa diurus sekarang. Apa Ibu Zoe akan mengurusnya sendiri atau menunggu keluar-,"

"Sendiri, saya urus sendiri."

Zoe mengusap mata lelahnya sebelum memaksa diri untuk duduk.

Perawat itu memandang Zoe dengan tatap iba untuk sesaat, sebelum ia mengambil langkah lebih dekat. "Kemarin sudah dua kali suntik, kalau mimisan lagi segera minum obat yang sudah dokter resepkan. Di administrasi nanti juga dokter sudah menulis surat rujukan ke THT untuk memeriksa kondisi Ibu."

Zoe mengangguk lemah mendengar semua penjelasannya. Memang kemarin di tengah tangisnya, ia mengalami pendarahan hebat di hidungnya sampai Zoe harus membawa dirinya sendiri ke rumah sakit.

Biasanya keadaan genting seperti ini ia akan menghubungi ibu atau Asher, tapi keadaan kacaunya menjadi hal yang memalukan untuk bisa dilihat siapapun.

Maka dari itu semalaman Zoe berada di rumah sakit, pun karena ia perlu suasana yang paling ia benci itu agar dirinya bisa terlelap. Kalau efek ngantuk yang obat hasilkan bisa membantunya melupakan kejadian mengerikan semalam bahkan untuk sesaat, Zoe terima dengan suka rela.

Setelah mengurus semuanya sendiri, Zoe mengeratkan kemeja yang ia pakai erat. Ia tahu dirinya harus menghadapi Asher sebentar lagi.

Begitu ia menghidupkan data selulernya, Zoe yakin ia mendapatkan begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari pria itu.

Atau mungkin tidak? Apa ini salah satu bentuk kepercayaan diri Zoe yang menggelikan lagi?

Zoe rasanya tidak mau berhubungan dengan siapa-siapa sekarang, tapi dunia tetap berputar meski yang ada pada dirinya malah kacau dan rasanya berhenti begitu saja.

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang