Zoe memegangi kopernya dengan erat.
Mendongak untuk melihat bangunan yang terlihat lebih seperti rumah liburan. Warnanya putih bersih, ada beberapa tanaman juga suara gemericik air yang langsung menyapanya begitu turun dari taksi.
Zoe masih saja sering menangis, kesulitan tidur bahkan ketika hari dimana ia menjalani ujian tengah semesternya. Kadang ketika Zoe berusaha tidur pun, mimpi buruk itu masih saja menghantui.
Seringkali ia mengutuk Asher karena bisa tidur nyenyak sedang ia harus meringkuk seperti janin, memegangi dadanya dengan tangis menyedihkan.
Bahkan ketika Asher datang ke rumahnya sambil terisak pun. Zoe harus memeluk pria itu, berusaha menenangkan meski tahu air mata itu ditujukan untuk masa lalunya.
Lalu Zoe merasa semua kosong. Jakarta terasa menyesakkan baginya.
Sampai dirinya ingat, bahwa sudah lama Zoe tidak menemui neneknya dari keluarga ibu. Yang sudah lama tidak mengunjungi rumah mereka lagi, akibat berseteru dengan ibunya untuk alasan yang tidak ia ketahui sampai sekarang.
Neneknya memilih tinggal di luar kota seorang diri. Kadang ia bertukar pesan, dimana sang nenek masih menunjukkan kesibukannya dengan teman-teman baru yang membantunya melewati sepi selama ini.
Zoe selalu takut untuk menghampiri neneknya. Selain karena dia juga terlalu senang dengan kehidupannya di Jakarta. Memandangi rumah ini saja rasanya membuat Zoe merasa bersalah.
Apalagi ketika gerbang terbuka dengan otomatis, dan bagaimana neneknya yang sedang memberi makan ikan-ikannya segera berdiri dengan mata membola.
"Cucuku tersayang!" Seruan meriah itu Zoe terima. Perempuan itu menoleh pada pria yang segera mengambil koper yang ia bawa, berterima kasih dengan pelan, lalu berjalan menghampiri neneknya.
"Nenek." Sapanya, dengan ringan balik memeluk perempuan tua yang tidak henti-hentinya mengeluarkan suara yang sarat gembira.
"Nenek rindu!"
Zoe melengkungkan bibirnya sedih. "Maaf nek, Zoe baru kesini."
"Harusnya kabarin nenek, supaya tadi supir aja yang jemput!"
Dengan mudah lengan Zoe dipeluk oleh Dessy, membawa mereka berdua untuk duduk di meja kecil yang berada di taman depan rumah, dekat dengan kolam ikan.
Zoe merentangkan tangan satunya dengan wajah cerah.
"Kejutan!" Ucapnya yang membuat sang nenek menderaikan tawa, ikut merasa gemas dengan sikap cerah cucunya ini.
"Zoe ceritanya mau kasih kejutan sama nenek."
"Emangnya kuliah udah libur?"
"Belum! Baru selesai ujian tengah semester, gak ada liburnya. Tapi Zoe disini dulu ya beberapa hari, cari suasana segar sambil skripsian."
"Nenek tau judul yang bagus apa."
"Apa nek?"
"Pengaruh kurangnya komunikasi keluarga pada rasa kesepian nenek tua, gimana?"
"Ya ampun nenek." Ucap Zoe setengah tertawa meski setengahnya lagi merasa tidak enak. Melihat dari samping seperti ini membuat Zoe seperti melihat ibunya, cara bercanda Susan begitu mirip dengan Dessy.
Hatinya ikut sakit memikirkan alasan apa yang membuat ibunya tidak akur lagi bersama neneknya.
Mungkin hari ini ia bisa mendapat sedikit jawaban dari rasa penasarannya. Mungkin juga tidak, karena neneknya masih merasa Zoe belum cukup dewasa.
Entah apapun itu, Zoe merasa hatinya menghangat lagi meski tangannya yang digenggam. Rasanya ia siap mendengarkan banyak cerita neneknya, tertawa sampai berderai air mata pun ingin ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Countdown
Teen Fiction"if you're lucky enough, red invisible string tying both of you together. But again, not everyone got luck handed to them."