Chapter 15 - Countdown

830 189 89
                                    

Suasana tidak pernah sedingin ini sebelumnya antara mereka tiap kali dalam perjalanan pulang bersama.

Begitu hening sampai suara radio yang sudah dibuat sepelan mungkin terasa begitu nyaring. Zoe memandang lurus, sambil memeluk tangannya sendiri, menghindari kebiasaan Asher yang selalu memegang tangannya tiap kali menyetir.

"Kita bakal terus kayak gini?" Tanya Asher tiba-tiba.

Zoe ingin memejamkan matanya lalu larut untuk bertemu mimpi indah. Ia merasa lelah, entah karena seharian menggunakan otak untuk tugasnya, atau akhir-akhir ini menggunakan kapasitas maksimal hatinya atas semua sikap Asher.

"Zoe, ayo ngobrol."

"Silahkan ngobrol."

"Mana bisa kalau kamu lanjut bertingkah kayak tembok yang selalu pasif."

"Kamu mau aku inisiatif bicaranya?"

"Iya."

"Oke, aku bakal nanya ya." Ucap Zoe kemudian, entah dorongan keberanian darimana, perempuan itu membenahi duduknya.

Tampangnya mungkin begitu keras seakan yakin. Tapi sebenarnya ia menciut, takut mendengar jawaban yang mungkin bisa Asher lontarkan, lalu kecewa mulai menyapa.

Jujur atau bohongnya Asher akan selalu meninggalkan kecewa bagi Zoe.

"Kamu nangis ke rumah aku itu karena apa?" Tanya Zoe langsung.

Dilihatnya bagaimana mimik wajah Asher berubah. Yang tadinya terlihat begitu keras ingin bicara, melunak seketika, pergerakan bagaimana pria itu menegak saliva juga tak terlewatkan oleh Zoe.

"Aku kasih waktu lima detik buat jawab. Kalau lebih dari itu, kamu gak berhak nanya kenap ini, kenapa itu, ke aku."

"Ken-,"

"Kata aku gak boleh tanya sampai kamu jawab pertanyaan aku."

"Emangnya aku gak boleh nangis? Banyak hal bisa bikin aku nangis."

"Aku tau, tapi pertanyaannya malam itu. Kenapa kamu nangis malam itu? Kenapa nangis segitu kencangnya sampai ngerasa perlu nemuin aku? Apa yang kamu tangisin?" Tanya Zoe bertubi-tubi, lalu kemudian ia melanjutkan pertanyaannya. "Atau itu pertanyaan yang salah? Apa harusnya aku nanya siapa yang kamu tangisin?"

Tampaknya ucapan Zoe membuat sesuatu dalam diri Asher benar-benar terguncang. Pria itu bahkan menghentikan mobilnya setelah tanpa pikir panjang berbelok ke sebelah komplek Zoe.

Seakan belum rela perbincangan ini berakhir ketika sampai nanti.

"Ngapain stop disini, itu Gavin bawa mobil kamu kearah rumah. Udah nyusahin, malah nyuruh dia nunggu."

Mendengar ucapan Zoe pun, Asher langsung mengeluarkan ponselnya, lalu mengirim pesan pada Gavin.

Meminta agar sahabatnya itu membawa pulang mobilnya, sedang ia bisa pulang dengan transportasi alternatif lainnya.

"Sudah. Sekarang kita bicara. Maksud kamu ngomong gitu apa?"

Perhatian Asher sepenuhnya berpusat pada Zoe. Perempuan yang harus mengerjapkan matanya karena merasa kesal harus merasa seperti ini lagi, ia merasa kesal karena tiap kali berhadapan dengan Asher dirinya dibuat merasa tak berdaya.

"Kamu minta aku kan untuk menjadi aktif dalam ngobrol. Layaknya kamu yang penasaran sama sikap yang ditunjukkin akhir-akhir ini, aku juga penasaran sama penyebab kamu nangis malam itu."

"Terus maksud tanya siapa itu apa?"

"Karena aku gak tau alasan dibalik tangis kamu malam itu, Asher. Yang aku tau, kamu datang, nangis, minta peluk, dan aku harus peluk kamu sepanjang malam sambil mikir apa yang bikin kamu nangis. Kenapa kamu bisa nangis se sakit itu? Tapi keadaan kamu terlalu buruk untuk bisa aku kasih pertanyaan, sedangkan aku harus nanggung perasaan berat itu sendirian!" Jelas Zoe, kali ini sepenuhnya jujur.

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang