Chapter 10 - Sorry Seems To Be The Easiest Word

847 172 53
                                    

Seharusnya, keadaan kamar Zoe saat ini tenangnya tidak ada yang menandingi. Sebut aroma lemon yang keluarnya dari diffuser, alunan musik dari playlist yang selama ini juga jadi teman belajar pemilik kamar juga terputar sedari tadi tanpa henti.

Seharusnya suasana ini membangun rasa nyaman untuk belajar seperti yang Zoe inginkan.

Seharusnya.

Alih-alih air mengalir dari mata dan berhenti untuk meninggalkan jejaknya di atas kertas yang ia pandangi. Otaknya penuh dengan keinginan agar memusatkan fokus dan melupakan sesak dalam diri.

"Ha..." Dibiarkannya surai pirang yang ia punya tergerai ke belakang, melewati kursi belajar juga pundak hanya untuk mengeluarkan suara nyaring dari tekanan yang ia berusaha tahan dari tadi. Matanya mulai sakit, Zoe seharusnya berhenti menjadi menyedihkan seperti ini.

Padahal semua sudah terpampang jelas. Tersaji sampai tak punya pilihan selain ia telan meski setiap sisi terasa bergerigi sampai begitu menyakiti.

Tapi masih saja Zoe remat rambut sambil menatap kosong langit-langit kamarnya. Dilema atas langkah apa yang harus ia ambil setelah ini, setelah dua hari mematikan ponsel dan menolak kehadiran Asher di rumahnya.

Menghindari Asher yang ia kira pantas ia lakukan untuk meluruskan perasaannya, malah berakhir menjadi bumerang.

Karena Zoe tidak berhenti marah.

Karena Zoe tidak berhenti rindu.

Karena Zoe tidak berhenti sayang.

Pundaknya mulai turun naik bergetar memikirkan kalimat perpisahan yang akan tergugu ia tangisi jika terkeluar dari mulutnya nanti. Hatinya tersayat dengan kemungkinan harus membeberkan alasan kenapa mereka harus berpisah.

Haruskah Zoe menjelaskan pada Asher bahwa ia akhirnya tahu semua? Kalau apapun diantara mereka selama ini, semua suka juga duka yang selama ini hadir sebagai pelipur lara dalam gelapnya hidup Zoe hanyalah dusta?

Suara ketukan pintu menyela pemikiran ribut yang ia punya.

Cepat-cepat Zoe menunduk. Ia gunakan lengan sweater yang dikenakan untuk menyeka air mata, rambutnya ia jadikan satu lalu diikat dengan rapi, menyembunyikan mata lelahnya dibalik kacamata, lalu mengambil nafas dalam-dalam.

Pintu akhirnya terbuka. Memperlihatkan ibunya yang tersenyum lembut. Zoe mengapresiasi bagaimana tidak ada tatap mengasihani atau kekhawatiran yang mungkin dengan cepat mengundang air matanya untuk keluar.

Tatap yang ibunya beri begitu teduh sampai Zoe, dengan energi yang tersisa, melengkungkan bibirnya.

"Zoe lagi belajar?"

Ia pegangi kepalanya dengan wajah pura-pura mengeluh, "Kayaknya harus agak banyak belajarnya mah. Ngulangnya lama."

"Kalau belajarnya banyak, makannya harus banyak juga dong sayang."

"Numpuk dulu deh mah, jadi nanti Zoe mukbang."

Tawa ibunya menguar di udara. Zoe tidak tahu apa aktingnya cukup sampai ibunya bisa percaya bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi pada dirinya, tapi suasana ini terasa tidak begitu menekan bagi Zoe.

"Hubungan dua tahun emang gak bohong ya. Telepatinya kuat, ceweknya mau mukbang, cowoknya yang supply makanan."

"Asher kesini?"

Zoe bertanya, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya terasa seperti jatuh bebas mendengar ucapan ibunya.

Susan mengangguk, "Lagi dan lagi."

Ekspresi Zoe mengkhianati kali ini. Saliva harus ia teguk lalu merunduk untuk menghindari tatap ibunya yang datar tapi entah bagaimana dalam pandangnya terlihat begitu curiga.

CountdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang